KEGELISAHAN INTELEKTUAL SEORANG FEMINIS
(Telaah Pemikiran Fatima Mernissi Tentang Hermeneutika Hadis)
Oleh : Nur Mukhlish Z,
M.Ag.
A. Pendahuluan
Kajian keagamaan yang bersifat
historis-sosiologis, pada saat ini semakin banyak diminati. Pemahaman yang
demikian ini amat logis, mengingat wahyu (al-Qur’an) sendiri turun mempunyai
sebab-sebab historis-sosiologis untuk memberi jawaban atas turunnya ayat
tersebut. Islam yang bersumber pada wahyu sebagai nilai yang ideal harus
dibedakan dengan Islam sebagai hasil pemahaman, yang bersifat historis.
Islam historis yan merupakan hasil dari
pemahaman tersebut memunculkan problem yang salah satunya berkaitan dengan
hubungan antara laki-laki dan perempuan atau secara umum disebut isu gender.
Feminisme adalah salah satu kata kunci untuk memahami kompleksitas problem
tersebut.
Charles Kurzman menulis bahwa persoalan hak-hak
perempuan merupakan salah satu isu utama pemikiran Islam liberal di dunia Islam
dewasa ini, disamping perlawanan atas teokrasi, masalah demokrasi, hak-hak
non-Muslim, kebebasan berfikir dan mengenai fahan kemajuan.
Istilah femenisme berasal dari bahasa Latin (
femina ; woman), yang berati
“memiliki sifat wanita “. Kata ini dipergunakan untuk merujuk kepada suatu
teori persamaan kelamin (
sexual equality) laki-laki dan perempuan, dan pergerakan
bagi hak-hak perempaun sebagai ganti istilah womenisme, yang lahir pada tahun
1890 M. Istilah feminisme tersebut untuk pertama kali dipergunakan pada tahun
1890 M., dan sejak itu istilah feminisme mulai dikenal secara luas.
Namun jauh sebelum istilah ini muncul, pada hakekatnya gerakan perempuan
khususnya di Barat telah jauh berkembang.
Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan,
bahwa feminisme mengandung arti “
kesadaran
akan penindasan dan pemerasan terhadap kaum perempuan di dalam masyarakat, di
tempat kerja dan di dalam keluarga, serta suatu tindakan sadar oleh perempuan
maupun laki-laki untuk mengubah kondisi tersebut”.
Lebih jauh mereka mengemukakan bahwa
seseorang yang mengenali adanya seksisme, yakni diskrimunasi atas dasar jenis
kelamin, dominasi laki-laki atas perempuan, pelaksanaan sistem patriarkhi dan
ia melakukan tindakan untuk menentang, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai
seorang feminis.
Hal yang demikian dapat terlihat bahwa gerakan feminisme
adalah egalitarianisme, yang mau tidak mau berhadapan dengan agama yang
bercorak patriarkhi. Menurut feminisme, paham patriarkhis agama inilah yang
menantang baginya untuk melakukan perlawanan-perlawanan, karena pemahaman
keagamaan tersebut sifatnya bukan harga mati dan final, yang tidak boleh
diganggu –gugat. Menurutnya, corak patriarkhi agama bukan bersifat hakiki dari
agama, tetapi produk struktur sosial dan budaya patriarkhi. Gerakan feminisme
yang mengedepankan semangat egaliteranisme ini
menginginkan sebuah semangat pemahaman baru dalam hal relasi antara
laki-laki dan perempuan, termasuk dalam memahami teks agama.
Dari sinilah kemudian muncul feminis-feminis
Muslim, seperti Aisyah Taymuriyah, penulis dan penyai Mesir ; Zainab Fawwaz,
esais Lebanon ; Rokaya Sakhawat Hosain dan Nazar Sajjad Haidar dari India,
melalui cerita cerpen, novel dan artikelnya ; R.A. Kartini dari Jawa, Emil
Ruete dari Zanzibar ; Taj al-Salthanah dari Iran ; Huda Sya’rawi dan Nabawiyah
Musa dari Mesir dan lain-lain.,
yang kemudian dalam tahun-tahun terakhir
munculah nama Fatima Mernissi dari Maroko.
Berkaitan dengan gerakan feminis muslim, dalam
makalah ini akan berbicara seputar pemikiran Fatima Mernissi, terutama tentang
relasi antara laki-laki dan perempuan.
B. Setting Historis-Sosiologis
dan Karier Intelektual
Maroko, atau sering juga
disebut dengan Maghribi merupakan negara yang berpenduduk kurang lebih 27 juta
jiwa (26.345.000 jiwa pada pertengahan tahun 1991) atau 99 persen penduduknya
sebagai penganut Muslim Sunni. Terdapat minoritas Yahudi yang berjumlah kurang
dari 8.000 jiwa (sebagaian besar Casablanca dan kota-kota pantai lainnya).
Menurut Ernest Gellner (1969)
,
sepanjang sejarah Islam Maroko terombang-ambing antara agama kaum borjuis kota
yang melek huruf, puritan skripturalis dan agama suku-suku buta huruf di
pedesaan yang
ritualistis-
antropolatrous. Gellner mengemukakan,
Islam ortodoks kota bersifat monoteistik dan egaliter yang menekankan sikap
sederhana, ketenangan hati, serta tidak berlebih-lebihan dalam ibadah, termasuk
tidak ada perantara antara orang beriman dsan Allah. Sebaliknya, Islam rakyat
menekankan hierarki dan mediasi antara orang mukmin dan Allah.
Di Maroko muncul beberapa gerakan, diantaranya
gerakan pembaharuan Salafiyah pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad
kedua puluh, seperti Abu Syu’aib al-Dukkali (w.1937). Disamping itu, ada juga
gerakan Fundamentalis yang dipimpin oleh Abd al-Salam Yasin, kurang lebih
1970-an. Gerakannya mengarah pada dataran politik, dan pernah menulis surat
pada Raja Hasan II, yang isinya menyerukan kembali hukum Allah dan berhenti
meniru Barat serta dominasi Barat.
Hal ini mengingat bahwa Maroko, pada tahun 1912 telah diproteksi oleh Perancis
dan Spanyol.
Para reformer Maroko, dengan trerilhami oleh
gagasan Muhammad Abduh, melancarkan gerakan pendidikan di Fez, Rabat, Sale dan
kota-kota lainnya, mendirikan sekolah-sekolah untuk mengajarkan tata bahasa
Arab, etika, logika, sejarah Islam dan aritmatika, tetapi tidak mengajarkan
ilmu pengetahuan modern.
Dalam
kondisi sosio-kultur yang demikian ini lahirlah sosok Fatima Mernissi. Dia
lahir di sebuah
harem di kota Fez,
Maroko bagian utara pada tahun 1940, dari keluarga kelas menengah
.
Dia mendapat pendidikan tingkat pertama dari seorang guru, yaitu Lalla Faqiha,
di sekolah tradisional yang didirikan oleh kaum Nasionalis Maroko. Pada remaja,
dia aktif mengikuti gerakan menentang imperalis Perancis.
Mernissi lahir dalam lingkungan
harem, dan menghadapi
dua
kultur keluarga yang berbeda, yaitu lingkungan keluarga ayahnya di kota Fez,
harem disimbolkan dengan dinding-dinding
yang tinggi. Sementara dari keluarga ibunya, yaitu rumah neneknya Lalla
Yasmina, yang berada jauh dari perkotaan,
harem
diwujudkan dalam bentuk rumah yang dikelilingi oleh kebun yang luas. Di
rumah neneknya ini, Mernissi mendapat pengalaman berharga tentang kesetaraan
sesama manusia, arti keterkungkungan dalan
harem,
serta hubungan sebab akibat antara kekalahan politik yang dialami kaum
Muslim dengan keterpurukan yang dialami perempuan
.
Kegelisahan intelektualnya di mulai sejak kecil
bersama saudara sepupunya Chama, yang selalu bertanya tentang makna
harem. Keluarganya di kota Fez terbagi
terbagi menjadi dua kelompok ; kelompok pertama terdiri dari nenek Lalla Mani
dan Ibu Chama, Lalla Radia, yang pro
harem
dan menganggapnya sebagai hal baik.
Sedangkan kelompok kedua, yaitu ibu (Ibunya Mernissi), Chama dan bibi Habiba
adalah kelompok yang anti
harem. Ibunya
sering melakukan protes terhadap pemisahan ruangan antara keluarganya dengan
keluarga pamannya, yang secara langsung maupun tidak langsung mengajarkan
kepadanya gagasan pembebasan dan pemberontakan perempuan.
Pelajaran yang berharga diperoleh dari neneknya Lalla Yasmina, tentang
batasan-batasan
harem, yang
menurutnya lebih banyak tersimpan dalam benak seseorang, lebih dari sekedar
batas-batas dinding yang secara fisik membatasi ruang gerak perempuan.
Pada
masa kecil, Mernissi memiliki hubungan yang ambivalen dengan al-Qur’an. Sekolah
tradisional yang didirikan oleh kaum
nasionalis, mengajarkan
al-Qur’an dengan sistem pelajaran yang keras. Hal ini sangat berbeda dengan
pembelajaran yang diterima dari Lalla Yasmina, yang telah membuka pintu menuju
sebuah agama yang puitis. Di sekolah al-Qur’an, jika salah melafalkan akan
dikenai hukuman dan dibentak oleh sang guru, Lalla Faqiha yang mengatakan : “al-Qur’an
harus dibaca persis sama dengan ketika kitab ini diturunkan dari Surga”. Setiap
Rabu diadakan hafalan, dan bila mengalami kesalahan dalam pengejaan, maka akan
dihukum, bahkan tidak jarang disertai pukulan yang dilakukan oleh
mahdriyah, pelajar yang lebih tua.
Menurut Mernissi, sikap ganda terhadap teks
suci ini, melekat pada dirinya selama bertahun-tahun. Tergantung bagaimana
menyikapinya ayat-ayat suci dapat menjadi pintu gerbang untuk melarikan diri
atau menghambat yang tidak bisa diatasi. Dia juga dapat membawa kita ke dalam
mimpi atau malahan pelemah semengat belaka. Semua itu tergantung pada siapa
yang menyerunya.
Ketika masa remaja, dia mengisahkan bahwa
al-Qur’an seolah meredup. Pengenalannya dengan Sunnah di sekolah menengah
menjadikan hatinya terbuka. Sang guru mengajarkan kitab
al-Bukhari yang didalamnya
menyebutkan bahwa
“Anjing, Keledai dan
Wanita akan membatalkan shalat seseorang apabila melintas di depan mereka,
menyela antara orang yang shalat dan kiblat”. Perasaannya terguncang dan
bertanya-tanya, dan hampir tak pernah mengulanginya, dengan harapan kebisuan
akan membuat hadis ini terhapus dari ingatannya. Dia mengatakan : “Bagaimana
mungkin Rasululllah mengatakan hadis itu, yang demikian melukai hati saya ?
Terutama karena pernyataannya itu tidak sesuai dengan cerita mereka tentang
kehidupan Nabi Muhammad”. Bagaimana mungkin Muhammad yang terkasih telah
melukai perasaan gadis cilik, yang saat pertumbuhannya berusaha menjadikannya
pilar impian romantisnya.
Ketika masa dewasa, kegelisahannya diawali
dengan pertanyaaan kepada seorang pedagang sayur langganannya : “Bisakah jika
seorang perempuan menjadi pemimpin kaum muslimin ? “ Dia pedagang sayur)
tersebut kemudian berseru : “
Nauzu
billah min zalik dengan penuh rasa
kaget”. Kemudian seorang guru yang belum saya kenal menyerang dengan mengatakan
“
suatu kaum yang menyerahakan urusan
mereka kepada seorang wanita tidak akan memperoleh kemakmuran”. Mernissi
tidak dapat mengucapkan apa-apa. Baginya dalam sejarah Islam, hadis bukan
sesuatu yang sembarangan. Mernissi meninggalkan toko dengan diam, kalah dan
marah. Akhirnya, dia mendadak merasakan kebutuhan yang mendesak untuk
mengumpulkan informasi mengenai hadis tadi dan mencari nash-nash yang
disebutkan untuk bisa memahami dengan baik
.
Kemudian ia melanjutkan gaul intelektualnya di
Universitas Muhammad V di Rabat, dengan mengambil program ilmu politik yang
diselesaikan pada tahun 1965. Selanjutnya melanjutkan ke Paris, dan sempat
bekerja sebagai wartawan
,
pada tahun 1973. Dia meyelesaikan program doktornya dalam bidang sosiologi dari
Universitas Brandeis. Dia kembali ke
Maroko tahun 1974-1981, dan dia mengajar pada departemen sosilogi di
Universitas Muhammad V, sekaligus dosen
The
Institut of Scientific Research, pada universitas yang sama. Selain itu, ia
juga bertindak sebagai konsultan di
United
Nation Agencies, dan terlibat secara aktif dalam gerakan perempuan, serta
sebagai anggota
pan Arab Woman Solidarity
Association.
Berdasarkan biografi dan karier intelektual
singkat di atas dapat diamati, Merniss mempunyai kemauan yang kuat untuk
mengetahui doktrin agama berkenaan dengan relasi antara laki-laki dan
perempuan. Kegelisahan intelektuanya dimulai sejak kecil, baik dalam keluarga maupun
dalam pendidikan sekolah al-Qur’an, sampai pendidikan tingkat doktoralnya.
Perhatiannya yang besar dalam kaitannya dengan pola hubungan laki-laki dan
perempuan, serta dominasi laki-laki
dalam sistem masyarakat yang patriarkhi, dapat terlihat dari karya-karya
yang telah ditulisnya.
Di
antara karya-karyanya, yaitu Beyond the
Veil Male-Female Dynamics in Modern Muslin Society (1975), The Veil and the Male Elite (1987) , Equal
before Allah (1987), Doing Daily Battle (1989), Woman in Islam : In Historical an
Theological Enquairy (1991), Islam
and Democracy : Fear of the Modern World (1992), The Forgotten Queens of Islam (1993), Dreams of Trespass Toles of a
Harem Gildhood (1994).Berdasarkan karya-karya ini, nampaknya Mernissi
berusaha menuangkan kegelisahan batinnya berkenaan dengan pola hubungan antara
laki-laki dan perempuan.
C. Kerangka Metodologi Fatima
Mernissi
Gerakan feminisme Muslim
meliputi kesadaran perempuan akan pembatasan atas dirinya karena gender,
penolakan perempuan terhadap ketidakadilan dan berusaha membangun sistem gender
yang lebih adil, yang melibatkan peran baru perempuan dan hubungan lebih
optimal di antara laki-laki dan perempuan.
Bentuk pemikiran feminis muncul dalam
masyarakat Muslim yang mengalami modernisasi, pengembangan kota, pembentukan
negara modern, kolonialisasi dan imperialisasi, gerakan kemerdekaan nasional,
peperangan dan agresi serta demokratisasi.
Feminisme perempuan Muslim menggugat berbagai sisten patriarkhi dan merubahnya
menjadi lebih egaliter.
Mernissi mengungkapkan bahwa agama harus
dipahami secara progresif untuk memahami realitas sosial dan
kekuatan-kekuatannya, karena agama telah dijadikan sebagai pembenar kekerasan.
Menghindari hal-hal yang primitif dan irasional adalah cara untuk menghilangkan
penindasan politik dan kekerasan. Menurut
nya, bahwa campur aduknya
antara yang profan dan yang sakral, antara Allah dan kepala negara, antara
al-Qur'an dan fantasi-fantasi imam harus didekonstruksi.
Mernissi menggugat penafsiran terhadap
ayat-ayat al-Qur’an seperti dalam surat al-Ahzab ayat 53, yang oleh para ulama
dijadikan dasar lembaga
hijab.
Berdasarkan pemahaman ini terjadi pemisahan, bahwa hanya laki-laki yang boleh
memasuki sektor publik. Sedangkan perempuan hanya berperan domestik. Menurut
Mernissi penafsiran semacam ini harus dibongkar dengan mengembalikan makna
berdasarkan konteks historisnya
.
Pemahaman yang demikian ini, nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran Qasim Amin,
yang menurutnya penutupan wajah dengan cadar dan pengucilan perempuan (
hijab) dari masyarakat bukan merupakan
sejarah Islam, tetapi merupakan konstruksi sosial dari masyarakat patriarkhi,
karena tidak satupun dalam nash yang tegas menyebutkannya.
Begitu juga penafsiran hadis yang berkenaan
dengan kepemimpinan perempuan, atau sering disebut dengan hadis misogenis, yang
menurutnya rangkaian sanadnya, seperti Abu Bakrah harus diteliti latar belakang
kehidupannya. Disamping itu kecurigaannya terhadap tindakan diskriminatif Abu
Hurairah terhadap perempuan, juga harus diteliti kembali.
Metode berfikir Mernissi nampaknya juga
dipengaruhi oleh Muhammad al-Ghazali, yaitu dalam kaitannya dengan studi kritik
hadis. Hadis misogenis tentang kepemimpinan perempuan nampaknya dipengaruhi
oleh al-Ghazali, yang pemahamannya dikaitkan dengan Q.S. 23 : 23, yang bercerita
tentang Ratu Saba. Mernissi berkesimpulan bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci
yang bersumber dari Wahyu adalah lebih tinggi tingkatannya dari pada hadis yang
hanya berupa pelaporan dari para sahabat yang dianggap mengetahui perbuatan dan
perkataan yang bersumber dari Nabi.
Disamping itu, pola pemikiran Muhammad Abed al-Jabiri juga amat mempengaruhi
pemikirannya, yang menyebutkan karyanya
Nahnu
wa al-Sarwa dan
Taqwin al-‘Aql
al-“Arabi. Dia (al-Jabiri) menkritik kaum muslimin dan para politisi Arab tidak
bisa secara adil dalam bersikap terhadap perubahan yang terjadi. Pemikiran
masyarakat Arab harus dirubah dalam menyikapi kemajuan dan modernisme, terutama
dengan berubah metode berfikirnya.
Hal yang demikian, terlihat bahwa Mernisi
berusaha membangun kembali penafsiran dengan menghubungkan konteks sosialnya.
Mernissi berusaha menelusuri khazanah keilmuan, baik berupa penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis misoginis
yang dimuat dalam
Sahih al-Bukhari dan
Sahih Muslim ataupun karya-karya lain
seperti
Tarikh al-Tabari,syarah
Sahih al-Bukhari yaitu
Fath al-Bari, al-Isabahfi Tamyiz
as-Sahabah, Tabaqat al-Kubra karya ibn Sa’ad,
Sirah karya ibn Hisyam
dan
lain-lain.
Dengan
menganalisa terhadap proses penafsirannya, maka nampak jelas metode yang digunakan
adalah
historis-sosiologis, dengan
menggunakan analisa
hermeneutik,
atau lebih tepatnya disebut dengan pendekatan
hermeneutik hadis. Pengertian yang demikian ini didasarkan atas
usahanya yang keras untuk membongkar hadis-hadis yang bernuansa misogenis.
Pendekatan
hermeneutik, yang
digunakan oleh Mernissi adalah untuk mengkritisi ayat-ayat al-Qur’an dan
hadis-hadis misogini. Dia mengungkapkan latar belakang historis terhadap
hadis-hadis misogini berikut tentang kualitas perawinya untuk menemukan makna sesunguhnya
dari teks tersebut. Menurutnya, komunitas Arab dan teks-teks yang tersusun
telah mencerminkan budaya dominasi laki-laki atas perempuan, dan meletakkan
perempuan sebagai inferior. Dengan dominasi tersebut, perempuan selalu
ditempatkan dan dipandang negatif dari perspektif apa saja. Mernissi tidak
meletakkan seluruh beba
n pada negara. Dia menyalahkan struktur sosial
yang telah menyengsarakan nasib perempuan. Struktur sosial di sini juga
termasuk doktrin dan ajaran agama yang menjadi pondasi penting masyarakat.
Mernissi tidak sepenuhnya percaya dengan sekelompok elit pemikir (kaum
tradisionalis ?) yang turut membicarakan sola perempuan. Bahkan ia menganggap
diskusi-diskusi disekitar
turas sebagai
omong kosong. Menurutnya, perdebatan sekitar
turas tidak lebih dari cara baru kaum laki-laki meraih kembali
dominasinya atas perempuan.
Mernissi memandang
turas secara negatif. Dia percaya bahwa model masa lalu tidal lagi
adekuat buat konteks modern. Oleh karena itu, ia meyakini bahwa persoalan yang
dihadapi masyarakat Arab sekarang sangat kompleks. Kendati demikian, bukan
berarti Mernissi sepenuhnya berpegang pada capaian modernitas. Dalam banyak
tulisannya, dengan keras ia mengecam Barat. Menurutnya, feminisme yang
dikembangkan Barat hanya melahirkan diskriminasi terhadap perempuan dengan
bentuknya yang lain.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap
data-data sejarah yang mempunyai otoritas seperti tersebut di atas, Mernissi
berpendapat bahwa perempuan dalam sejarah Islam mempunyai peran yang sama dengan
laki-laki. Banyak terdapat ratu-ratu pemimpin Islam yang muncul di panggung
sejarah Islam.
Tradisi
perempuan menjadi pemimpin dalam Islam, bukanlah merupakan hal yang baru,
tetapi sudah ada sejak dahulu.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami
bahwa usaha Mernissi untuk memperjuangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan,
bukan hanya didasarkan atas pengaruh dari feminisme Barat. Akan tetapi, pada
dasarnya konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan tersebut sebenarnya telah
tersurat dalam teks agama (wahyu dan sunnah). Hanya, karena peranan otoritas
ulama mendominasi penafsiran teks-teks agama, sehingga lebih mengutamakan
kepentingan laki-laki dan menjustifikasi atas dominasinya, serta mampu
menciptakan masyrakat patriarkhi. Pendekatan hermeneutik adalah sebuah upaya untuk reinterpretasi terhadap
teks-teks agama dalam kaitannya relasi antara laki-laki dan perempuan.
Realitas sosial yang merupakan reperesentasi dari teks amat sangat
mempengaruhi dalam melakukan pembacaan terhadap teks. Teks-teks agama ketika
dibaca dalam sebuah konteks tertentu, maka amat diperngaruhi oleh pembaca.
Begitu juga teks yang merupakan representasi
tersebut sebenarnya hanyalah sebuah produk pemikiran para penafsir teks,
yang didalamnya termasuk para ulama, tokoh agama, pendeta, ilmuwan dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, pembacaan terhadap teks-teks agama yang dijadikan
sumber otoritas masyarakat patriarkhi amat berarti bagi pola hubungan antara
laki-laki dan perempuan dalam konteks masyarakat kontemporer.
D. Kerangka Teori Fatima Mernissi
Wacana tentang perempuan
yang berlaku dalam komunitas Arab telah dibentuk sedemikian rupa oleh kultur
dominasi laki-laki. Apalagi didukung oleh konstruksi para ulama dengan
memanipulasi teks untuk kepentingan laki-laki menjadi masyarakat yang
patriarkhi. Mernisi menjumpai adanya ketimpangan peran sosial antara laki-laki
dan perempuan dalam masyarakat, sehingga yang nampak adalah masyarakat
patriarkhi.
Menurut
nya, hijab merupakan bukti
konkrit adanya upaya pengucilan dan pengasingan dari dunia publik. Yang
berwenang menduduki peran publik hanya laki-laki, sedang perempuan menduduki
peran domestik.
Sistem
telah mengasingkan perempuan di rumah dan secara ekonomis tidak mandiri, serta
mempunyai ketergantungan psikologis. Penafsiran yang lebih parah menurutnya,
menyamakan perempuan dengan
al-sufaha (orang
bodoh), seperti yang terdapat dalanm surat al-Nisa : 5. Menurutnya, kata
tersebut lebih bersifat umum, yaitu meniadakan bagi yang belum dewasa, dalam
arti belum mempunyai kemampuan untuk menilai
atau membedakan
.
Pemikiran Mernissi dalam menggugat sistem
patriarkhi, nampkanya dipengaruhi oleh budaya ketika belajar di Perancis.
Mernisi sangat apresiatif terhadap konsep individualisme, liberalisme dan
kebebasan individu yang berkembang di Barat. Gerakan feminisme di Barat semakin
menyadarkan betapa dominasi laki-laki, masih bertahan di dunia Arab. Hal ini
terlihat, ketika perang teluk berlangsung semua tertarik untuk memperjuangkan
kemerdekaan dan untuk menuntut dihentikannya perang, termasuk di dalamnya
perempuan. Pasca perang, perempuan Arab disuruh kembali ke balik cadar.
Muslimah dilarang untuk berhubungan dengan dunia luar dengan simbol kewajiban
memakai purdah.
Pengaruh Barat dalam pola pemikiran Mernissi tidaklah diserap begitu saja, tanpa
adanya upaya untuk memformulasikannya.
Mernissi mengatakan bahwa kedudukan laki-lakidan
perempuan itu setara.Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan itu didasrkan
atas nash. Dia menceritakan
protesnya Ummu Salamah kepada Rasulullah, yang mengatakan: “
Mengapa hanya pria yang disebutkan dalam
al-Qur’an ?”, yang kemudian turunlah ayat yang berkaitan dengan kesetaraan
seperti dalam al-Ahzab : 35, merupakan bukti bahwa konsep kesetaraan tersebut
telah tersurat.
Berdasarkan pendekatan historis-sosiologis yang
digunakan oleh Mernissi, yang tentu saja sesuai dengan latar belakang
pendidikannya, serta analisa
hermeneutik-nya,
nampaknya dekonstruksi penafsiran terhadap teks, merupakan hal yang penting
untuk merokonstruksi kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Bias gender merupakan kata kunci yang dapat dipahami dari
pemikiran Mernissi. Para penafsir teks, yang mempunyai kecenderungan misogenis,
sebenarnya hanyalah merupakan produk pemikiran, dan bukanlah penafsiran yang
bersifat final. Penafsiran terhadap teks, dalam kaitannya relasi antara
laki-laki dan perempuan hanyalah merupakan persoalan gender. Persolan bias
gender, meminjam istilahnya Peter L. Berger
,
merupakan sebuah
konstruksi sosial, yang
didasarkan pada kepentinagn tertentu, baik secara individu maupun dalam sistem
masyarakat yang patriarkhi. Menurut Mernissi terjadinya ketidakadilan,
diskriminasi, pengasingan dan domestikasi perempuan, sebenarnya telah diciptakan oleh struktur sosial yang
patriarkhi, atau dengan kata lain bias gender telah dibentuk oleh masyarakat
patriarkhi.
Dalam karyanya, yang terjemahannya berjudul “
Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan”, Mernissi
secara tegas memetakan sebuah kerangka teori yang disebut dengan
Islam Politik – Islam Risalah. Islam
Politik adalah Islam sebagai praktek kekuasaan pada tindakan-tindakan manusia
yang digerakkan oleh nafsu dan didorong oleh kepentingan pribadi. Sedang Islam
Risalah adalah pesan Ilahi, cita-cita yang tercata dalam al-Qur’an. Islam
Risalah ini juga disebut sebagai Islam Spiritual.
Pisau
analisis ini
digunakan ketika menganalisa fenomena kepemimpinan
perempuan dalam panggung sejarah sosial umat Islam, antara yang betul-betul
cemerlang mengendalikan kepemimpinannnya, maupun ketika melihat runtuhnya atau
gagalnya kepemimpinan perempuan, yang terkadng dijadikan dasar untuk memasung
peran politik perempuan.
Dalam karyanya yang lain,
Mernissi mengatakan dengan tegas : “Jika
hak-hak wanita merupakan masalah bagi kaum lelaki muslim modern, hal itu
bukanlah karena al-Qur’an ataupun Nabi, bukan pula karena tradisi Islam,
melainkan semata-mata karena hak-hak tersebut bertentangan dengan kepentingan
kaum elit lelaki “
. Menurut
nya bahwa kelompok elit yang egois,
subyektif dan picik tersebut, meyakinkan bahwa pandangannya memiliki landasan
sakral. Pada hal itu hanyalah sebuah klaim belaka.
Dalam karyanya
Beyond the Veil : Male-Female Dynamic in
Modern Muslim Society (1975), Mernissi berusaha merebut kembali wacana
ideologis mengenai perempuan dan seksualitas dari cengkeraman sistem
patriarkhi. Dia secara kritis mengkaji teks-teks hukum-keagamaan dalam
kitab-kitab klasik, termasuk hadis, dan menafsirkannya kemabali dari perspektif feminis.
menurutnya, sikap Muslimah yang pasif, pendiam dan penurut, tidak
sesuai dengan pesan autentik ajaran Islam. Hal itu hanyalah sebuah konstruksi
para ulama, ahli hukum dan teolog laki-laki yang memanipulasi dan mendominasi
teks agama untuk mempertahankan sistem patriarkhi.
Berdasarkan pemahaman di atas, Mernissi melihat
bahwa dominasi laki-laki dalam masyarakat yang mempunyai sistem patriarkhi,
sebenarnya bukanlah dibakukan oleh nash atau teks-teks agama. Akan tetapi,
semuanya itu terbentuk oleh sebuah konstruksi sosial yang didasarkan atas
kepentingan laki-laki. Akhirnya, konstruksi sosial yang sedemikian kuatnya,
menjadikan struktur sosial tersebut mewujud dalam bentuk masyarakat patriarkhi,
yang didukung oleh produk pemikiran para ulama.
E. Pemikiran-pemikiran Fatima Mernissi
Dalam memperjuangkan
gagasannya tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan, Mernissi melakukan
kritik terhadap hadis-hadis misogini dan beberapa ayat al-Qur'’n, yang
menurutnya dalam tafsirnya menyimpang dari semangat diturunkannya wahyu
tersebut. Diantara gagasannya adalah :
1. Kritik Hadis Misogini
Tentang Kepemimpinan Perempuan
Al-Bukhari dalam kitab
hadisnya menyebutkan, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang artinya :”
Barang siapa menyerahkan urusan pada wanita,
maka mereka tidak akan mendapat kemakmuran”.
Abu Bakrah mengatakan bahwa hadis tersebut dikemukakan oleh Nabi Saw. ketika
mengetahui orang-orang Persia mengangkat seorang wanita untuk menjadi pemimpin
mereka. Kemudian Rasulullah bertanya : “Siapakah yang telah menggantikannya
sebagai pemimmpin”. Jawab Abu Bakrah ; “Mereka menyerahkan kekuasaan kepada
putrinya”. Lalu Rasulullah bersabda sebagaimana tersebut di atas. Berdasarkan
hadis ini, menurut Mernissi, persolan mendasar yang perlu dipertanyakan adalah
“mengapa hadis tersebut diungkapkan oleh Abu Bakrah, ketika Aisyah mengalami
kekalahan pada Perang Jamal ?
Menurut Mernissi, bahwa Abu
Bakrah mengemukakan hadis tersebut ketika menolak untuk ikut terlibat dalam
perang saudara. Dalam hal ini, Ibn Hajar al-Asqalani menceritakan, ketika Abu
Bakrah dihubungi oleh Aisyah, secara terbuka ia menyatakan sikap menentang
fitnah. Abu Bakrah menjawab :“Adalah benar anda Umi kami, adalah benar anda
memiliki atas kami, tetapi saya mendengar Rasulullah bersabda : …
(seperti tersebut di atas).
Mernissi melakukan
kritiknya terhadap Abu Bakrah dalam kaitannya meriwayatkan hadis tersebut, yaitu
:
a.
Abu Bakrah semula adalah seorang
budak yang kemudian dimerdekakan saat begabung dengan kaum muslimin. Oleh
karena itu, ia sulit dilacak silsilahnya. Dalam tradisi kesukuan dan
aristokrasi Arab, apabila seseorang tidak memiliki sislsilah yang jelas, maka
secara sosial tidak diakui statusnya.
Bahkan, Imam Ahmad yang melakukan penelitian biografi para sahabat
mengakui telah melewatkan begitu saja Abu Bakrah dan tidak menyelidikinya
secara lebim mendetail.
b.
Abu Bakrah pernah dikenai hukuman qazaf , karena tidak dapat membuktikan
atas tuduhan zinanya yang dilakukan oleh al-Mugirah ibn Syu’bah beserta saksi
lainnya, pada masa khalifah Umar Ibn Khatab. Menurut Mernissi, dengan
menggunakan standar penerimaan hadis yang dikemukakan Imam Malik, diantaranya
bukan termasuk pembohong, safih dan pernah melakukan bid’ah, maka periwayatan
Abu Bakrah tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan atas tindakan kebohongan
yang telah dilakukannya.
c.
Berdasarkan konteks historis, Abu
Bakrah mengingat hadis tersebut ketika Aisyah mengalami kekakahan dalam Perang
Jamal, ketika melawan Ali ibn Abi Thalib. Pada hal sikap awal yang diambil Abu
Bakrah adalah bersikap netral. Lantas
mengapa kemudian ia justru mengungkapkan hadis tersebut, yang seakan
menyudutkan Aisyah.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, Mernissi
berkesimpulan bahwa meskipun hadis tersebut dimuat dalam
Sahih al-Bukhari, namun masih diperdebatkan oleh para fuqaha.
Menurutnya, hadis tersebut dijadikan argumentasi untuk menggusur kaum wanita
dalam proses pengambilan keputusan. Namun al-Tabari meragukannya, dengan
mengatakan tak cukup alasan untuk merampas kemampuan wanita dalam pengambilan
keputusan dan tidak ada alasan untuk melakukan pembenaran atas pengucilan
mereka dari kegiatan politik.
Namun, berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Nur Khoirin, M.Ag., menyimpulkan bahwa secara kuantitatif,
hadis tersebut termasuk hadis Ahad, dan secara kualitatif Abu Bakrah merupakan
seorang yang
salih dan
wara’, seperti penilaiannya Ibn Saad.
Silsilahnya pun dapat dilacak, bahwa Abu Bakrah mempunyai nama, yaitu ; Nufi’
ibn Masruq
.
2. Hadis Yang Diriwayatkan
Oleh Abu Hurairah
Al-Bukhari meriwayatkan
hadis dari Abu Hurairah, yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda : “
Anjing, keledai dan wanita akan membatalkan
shalat seseorang apabila ia melintas di depan mereka dan menyela dirinya
antaraorang-orang yang shalat dengan kiblat”.
Mernissi melakukan kritik
terhadap sanad dan matan hadis ini dengan mendasarkan diri pada koreksi Aisyah
kepada Abu Hurairah (Ayah Kucing Betina kecil). Nama pemberian Rasulullah ini
tidak disenangi olehnya, dengan mengatakan : “Jangan panggil saya Abu Hurairah.
Rasulullah menjuluki saya nama Abu Hirr (ayah kucing jantan), karena jantan
lebih baik dari betina”. Abu Hurairah memiliki semacam kecemburuan berlebihan
terkait dengan kucing betina dan kaum wanita. Hal inilah yang mendorong
Rasulullah, kata Abu Hurairah, untuk mengatakan yang menjadikan kucing betina
jauh lebih baih dari wanita.Akan tetapi, hal ini ditentang oleh Aisyah.
Dalam riwayat yang lain,
bahwa suatu ketika Aisyah ditanya tentang tiga hal yang membawa bencana, yaitu
rumah, wanita dan kuda, seperti diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Aisyah
menngatakan bahwa Abu Hurairah itu mempelajari hadis ini secara buruk. Abu
Hurairah memasuki rumah kami ketika Raslullah ditengan-tengah kalimatnya. Dia
hanya sempat mendenga bagian terakhir dari kalimat. Rasul sebenarnya mengatakan
:
“semoga Allah membuktikan kasalahan
kaum Yahudi ; mereka mengakan tiga hal yang membawa bencana, yaitu rumah,
wanita dan kuda”. Tindakan
Abu Hurairah juga sempat menjengkelkan Umar, ketika ditawari sutu pekerjaan
dengan mengatakan bahwa dirinya orang yang terbaik.
Berdasarkan argumentasi inilah Mernisi tidak dapat menerima hadis misogini ini.
Dia berusaha menyingkap keraguan berkenaan dengan tindakan diskriminasi yang
dilakukan oleh Abu Hurairah. Abu Hurairah memang banyak meriwayatkan hadis,
namun banyak hadis yang diriwatakannya bernuansa misogini. Mernissi berusaha
membongkarnya, walaupun hadis tersebut dimuat dalam
Sahih al-Bukhari.
3. Ayat Tentang Hijab
Pemikiran Fatima Mernissi
lainnya yaitu tentang penafsiran ayat
hijab seperti
yang terdapat dalam surat al-Ahzab :53. Dengan meneliti sebab-sebab turunnya (
asbab an-nuzul), bahwa ayat ini bukanlah
bukanlah untuk justifikasi pemisahan peran laki-laki dan perempuan. Karena
turunnya ayat ini berkaitan dengan peristiwa ketika Rasulullah menikah dengan
Zainab ibn Jahs. Rasulullah merasa risih dengan beberapa sahabat yang tidak
segera pulang setelah menghadiri pernikahannya. Kegelisahan Rasulullah tersebut
akhirnya dijawab dengan turunnya ayat 53 surat al-Ahzab.
Menurut al-Tabari, ayat
hijab ini mengandung pemahaman adanya pembagian ruang menjadi dua kawasan,
yaitu yang memisahkan masing-masing dari dua laki-laki yang ada saat itu, Nabi
Saw. dan Anas. Dan dari sinilah sumber yang dibenarkan dalam riwayat yang
menyatakan bahwa “Nabi Saw. menurunkan atau menarik sebuah tirai (satrun)
antara diri beliau dengan Anas, dan ayat tentang hijab ini akhirnya diturunkan.
Hal ini dapat dipahami bahwa tindakan Rasulullah yang menarik sebuah tirai adalah untuk menutupinya antara dirinya
dengan Anas.
Menurut Mernissi, jika ayat
ini dibaca secara cermat, maka akan didapatkan pemahaman bahwa penekanan Allah
dalam ayat ini adalah soal kebijaksanaan. Dia ingin mengajarkan kepada para
sahabat beberapa aspek sopan santun yang tampaknya belum membudaya, misalnya
bila memasuki rumah, maka harus meminta izin.
Berdasarkan fenomena hijab
tersebut, menurut Mernissi dapat diambil pengertian bahwa para sahabat
nampaknya amat terbiasa mengunjungi rumah Rasulullah, tanpa formalitas apapun.
Begitu juga dapat dipahami, rumahnya gampang dikunjungi oleh umatnya tanpa
terjadinya pemisahan antara kehidupan pribadi (tempat tinggal istri-istri Nabi)
dengan ruang publik (masjid).
Dengan pemahaman ini, sebenarnya tidaklah
terjadi pemisahan antara laki-laki dan perempuan dalam memainkan peran domestik
dan publik.
F. Catatan Akhir
Mernissi telah berusaha
membongkar bangunan penafsiran para ulama klasik, yang menurutnya menunjukkan
dominasi patriarkhi. Penelitian yang dilakukan terhadap dua hadis di atas, bisa
jadi meruapakan rintisan untuk membangun keilmuan dalam kaitanya dengan studi
kritik hadis, atau yang lebih dekenal dengan kritik sanad dan matan hadis.
Berkaitan dengan relasi
antara laki-laki dan perempuan, Mernissi melihatnya lebih sebagai sebuah
konstruksi sosial dari pada sebagai sebuah doktrin agama yang bersifat murni.
Dia melihat teks-teks agama yang dipandang otoritatif merupakan sebuah produk
pemikiran para ulama, sehingga harus
dilihatnya bukan sebagai hasil final dan tidak dapat diganggu gugat.
Konsep persamaan anatara
laki-laki dan perempuan sebenarnya didasarkan atas nilai-nilai yang terkandung
dalam nash. Seandainya terdapat proses marjinalisasi peran perempuan dari
kehidupan publik, atau domestikasi perempuan, sebenarnya merupakan hasil dari
sebuah konstruksi sosial. Struktur sosialah yang telah menciptakan inferioritas
perempuan. Apalagi, struktur sosial yang demikian ini telah dijustifikasi oleh
para ulama yang mempunyai otoritas agama. Yang pada akhirnya, produk pemikiran
ulama tersebut diabadikan, disakralkan dan ditaruh di menara gading, yang
seakan tidak boleh ditafsirkan lagi. Hal inilah yang ditentang oleh Mernissi, dengan mengatakan bahwa
turas, hanyalah salah satu usaha para
ulama untuk melanggengkan otoritas penafsiran teks agama, terutama dalam
kaitannta dengan dominasi laki-laki atas perempuan.
Sebagai seorang sosiolog,
dalam melakukan kajiannya, Mernissi tidak hanya mendekati teks agama dari segi
tekstualnya saja. Akan tetapi, teks-teks agama haruslah dikaji dari pendekatan
historis-sosiologis. Hal ini untuk menemukan signifikansi makna, jika
dihubungkan dengan kondisi zaman dan tempat.
Teks sebagai sebuah representasi, merupakan hasil dari konstruksi sosial,
bukan untuk disakralkan, apalagi diabadikan. Akan tetapi, perlu terus dikaji
dan dilakukan reinterpretasi, agar labih dinamis, sehingga produk pemikiran
bukanlah bersifat final, apalagi sempurna. Karena kesempurnaan hanyalah sebuah limit yang tidak dapat diraih, tetapi
hanya dapat didekati.
Berangkat dari kesadaran
ini, pemikiran yang dikembangkan oleh Mernissi tentunya bukanlah produk
pemikiran yang mapan. Sikapnya yang bersemangat
dalam meneliti hadis-hadis misogini patut dihargai. Hal ini untuk memperkaya
kazanah keilmuan keislaman dalam kaitannya tentang wacana feminisme. Namun,
sayangnya, setelah ditelusuri lebih jauh ternyata tingkat kejelian dalam
penelitiannya masih terdapat kesalahan. Hal ini jika dibandingkan dengan
penelitiannya Nur Khoirin, atau penelitian yang dilakukan oleh Hidayat Nur
Wahid dalam mengoreksi hasil penelitian Fatima Mernissi. Sekali lagi, produk
pemikiran hanyalah pemahaman yang tidak dapat mencpai sempurna. Kesempurnaan
hanyalah limit yang hanya dapat
didekati tanpa mampu untuk dirah secara maksimal.
Wa Allah A’lam bi al-Sawab