Kamis, 22 Maret 2012

Keseimbangan Antara Shaleh Personal dan Sosial


HIDUP DALAM KETERASINGAN
(Membangun Keseimbangan Antara Shaleh Personal dan Sosial)

Perjalanan kehidupan manusia senantiasa mengalami perubahan seiring dengan terjadinya kemajuan dan perkembangan zaman. Pada saat ini, perjalanan kehidupan manusia dihadapkan pada pola dan gaya hidup yang materialistik, skularistik  dan hedonistik. Tolak ukur kehidupan umat menusia lebih banyak ditentukan pada sesuatu yang bersifat kebendaan (materi), jauh dari aturan agama, serta  gaya hidup yang hanya ditentukan untuk meraih kebahagiaan yang bersifat sesaat. Umat manusia telah banyak yang terninabobokan dan terlena dalam kehidupan dunia yang segala sesuatunya dinilai berdasarkan materi. Disamping itu, kondisi kehidupan umat manusia juga telah mengalami carut marut. Nilai-nilai moral yang diajarkan oleh agama Islam, banyak yang diabaikannya. Tuntunan moral ajaran agama lebih dianggap sebagai tontonan, sementara tontonan dan berbagai jenis hiburan dijadikannya sebagai tuntunan hidup, bahkan dijadikan teladan dan idola sebagai gaya hidup yang dianggap modern.
Kemerosotan moral umat manusia sungguh amat memprihatinkan. Kepemilikan harta secara sah, telah dihancurkan dengan menghalalkan segala cara untuk dikuasainya, baik dengan cara penipuan, tindakan curang, pencuriaan, hingga korupsi yang dilakukan secara berjama’ah dan vulgar. Kehormatan nyawa seseorang telah diabaikan dengan cara pembunuhan, hingga orang tua pun rela membunuh anaknya, dan sebaliknya anak pun tega membunuh orang tuanya. Perilaku politik yang adiluhung pun diruntuhkan dengan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Semangat persaudaraan, kebersamaan dan kebangsaan pun dihancurkan dengan tindakan kekerasan, permusuhan dan dendam dikarenakan untuk meraih kepentingan pribadi ataupun kelompoknya. Makanan dan minuman yang telah jelas-jelas diharamkan oleh ajaran agama pun dianggapnya sebagai barang halal, karena baginya pengharaman tersebut menjadi penghambat dalam meraih kesenangan sesaat. Perzinahan dan kehidupan yang bebas dianggapnya sebagai tradisi gaya hidup manusia modern. Ajaran moral agama dianggapnya sebagai candu yang menghambat kebebasan berekspresi.
Carut-marutnya kehidupan manusia tersebut dapat digambarkan dalam syair :
“ ….. sifat mereka telah bertukar
dari fakir menjadi kafir
siddiq dan amanah telah hilang
hasad dengki khianat berbilang-bilang
iman dan taat menjadi luntur
judi menjadi seri majlis
zina menjadi pekerjaan laris
isteri dan anak menjadi durhaka
melihat moral si ayah merajalela
alam pun turut sangat murka
menurunkan bala banjir dan gempa
gunung-gunung memuntahkan laharnya
perang terjadi di mana-mana
malapetaka di seluruh dunia ….”

Inilah wajah dunia saat ini. Kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan, terkadang menyisakan kehidupan umat manusia menjadi kering kerontang dari nilai-nilai ajaran agama dan semangat keberagamaan. Kemajuan yang telah dicapai umat manusia, ternyata tidak dapat menjamin kehidupan manusia menjadi terhormat, bahkan terkadang menjadikan dirinya terhina dihadapan Allah. 
 Oleh karena itu, betapa banyak dalam kehidupan kita saat ini, seseorang lebih memilih menuhankan hawa nafsunya untuk kepentingan diri sendiri dan kenikmatan sesaat. Pada hal, seharusnya, hawa nafsu dikendalikan oleh akal, dan dibarengi oleh kejernihan dan ketulusan hati, agar segala amal perbuatan yang dilakukan senantiasa di bawah bimbingan dan petunjuk Allah. Seseorang yang memperturutkan dan menuhankan hawa nafsunya, justru hanya akan menjadikan kehidupanya menjauh dari hidayah dan ridha Allah, dan dibiarkan hidupnya menjadi tersesat. Hal inilah yang ditegaskan Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Jatsiyah : 23. : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Segala amal perbuatan seseorang berpusat pada hati (qalbunya). Hati ibaratnya seperti jagad raya tempat menampung dan sumber dari setiap amal perbuatan. Hati seseorang akan menjadi hati nurani (hati yang terang, cerah dan cemerlang), manakala manusia telaten menjaga kemurnian, kesucian dan ketulusannya. Akan tetapi, hati dapat berubah menjadi hati dzulmani (hati yang gelap dan gundah) yang akan menjadikan perjalanan kehidupan manusia dikendalikan dan dibelenggu oleh hawa nafsunya. Jika hawa nafsu sudah menjadi pengendali, maka seseorang akan kesulitan untuk membedakan antara yang benar dan salah, halal dan haram, yang haq dan yang bathil, antara kejahatan dan kebaikan.
Oleh karena itu, dalam rangka menghadapi problematika kehidupan dan krisis multidimensi pada saat ini diperlukan penghayatan nilai-nilai moral agama. Penguatan iman dan taqwa pada masing-masing pribadi demi terwujudnya keshalehan pribadi menjadi landasan utama. Penghayatan secara mendalam kecenderungan kalbu akan kehadiran Allah dalam kehidupan sehari hari (omnipresent) merupakan hal yang utama dalam membangun kesadaran pribadi. Inilah wilayah ilahiyah (menurut Dr. Yusuf Qardhawi) yang kita harus mengisinya dengan semangat ibadah. Kesadaran bahwa Allah Maha Hadir dalam setiap kegiatan, selalu mengawasi terhadap yang dilakuakan oleh manusia. Dia juga selalu hadir memberikan Pertolongan-Nya terhadap hamba-Nya yang memohon dengan hati yang tulus.
Ketika kebanyakan umat manusia telah terlena kepada kehidupan yang materialistik, skularistik dan hedonistik, serta dihadapkan pada wajah dunia yang penuh dengan kemerosotan moral, penyimpangan dari tuntunan ajaran agama, maka insan yang beriman seharusnya mengisi kehidupannya sesuai dengan ketentuan Allah. Kecenderungan dan ketundukan hatinya hanya semata-mata kepada Allah. Inilah yang menjadikan umat manusia menjadi hamba yang bertaqwa, hamba yang terpelihara dan terjaga dari hal-hal yang dilarang.
Disamping itu, diperlukan membangkitkan kesadaran sosial atau sering disebut shalih secara sosial, karena dalam Islam ditekankan pola keseimbangan hidup, yaitu untuk menjalin hubungan (ibadah) kepada Allah dan juga menjalin hubungan dengan sesama umat manusia. Umat Islam akan mampu mempertahankan eksistensinya  sebagai umat pilihan dan sebagai  saksi atas umat yang lain manakala mampu membina  hubungan baik dengan Allah SWT dan membina hubungan baik sesama manusia. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (AL-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, Dialah sebaik-baik pelindung dan Sebaik-baik penolong.” (QS. al-Hajj:78). Dalam ayat ini ditegaskan agar seorang Muslim mampu membangun kesalehan personal dan sosial  secara bersamaan agar senantiasa dalam kemenangan, rukuk dan sujud merupakan cermin tertinggi dari pengabdian seseorang kepada Allah SWT, sedang ”berbuatlah kebaikan” merupakan indikasi kesalehan sosial.
Secara redaksional, ayat tersebut lebih mendahulukan kesalehan pribadi dari pada kesalehan sosial. Ini berarti bahwa untuk membangun kesalehan sosial, harus dimulai dengan kesalehan personal, atau kesalehan personal akan memberikan kekuatan untuk saleh juga secara sosial. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa hubungan dan korelasi (munasabah) yang sangat erat antara kesalehan personal dan sosial dengan nilai-nilai mulia dari ajaran Islam. Untuk menggapai predikat ihsan misalnya, seseorang dituntut untuk mampu shaleh secara individu mapun sosial yang diwakili dengan shalat malam dan berinfak. Dalam surat Adz-Dzariyat : 16 – 19 disebutkan : Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa dua bentuk amal yang sangat berat untuk dilakukan : pertama, bangun malam merupakan sesuatu yang sangat berat karena mengganggu istirahat seseorang. Padahal amal itu merupakan amal yang paling utama untuk membangun kesalehan personal seseorang. Kedua, amal yang melibatkan harta terkadang sangat sukar untuk dipenuhi karena manusia pada dasarnya memiliki sifat kikir dengan sangat mencintai hartanya. Di sinilah Allah SWT menguji kesalehan sosial seseorang dengan memintanya untuk mengeluarkan sebagian harta untuk mereka yang membutuhkan.
Betapa banyak dari umat ini yang seakan hanya mementingkan shaleh secara sosial, tetapi lupa akan hubungan baik dengan Allah SWT. Sebaliknya, banyak juga yang shaleh secara personal namun ketika berhadapan dengan realitas kehidupan sosial, justru ia larut dan tidak mampu membangun keshalehan di tengah-tengah  mereka. Oleh karena itu, pada saat ini diperlukan membangun sebuah kesadaran, kehadiran komunitas yang saleh secara personal, dalam arti mampu menjaga hubungan baik dengan Allah Swt, dan juga shaleh secara sosial dalam arti mampu memelihara hubungan baik dan memberi kebaikan dan manfaat yang besar bagi kemanusiaan.
Wa Allah A’lam bi as-Sawab


Tidak ada komentar:

Posting Komentar