HIDUP DALAM KETERASINGAN
(Membangun
Keseimbangan Antara Shaleh Personal dan Sosial)
Perjalanan kehidupan manusia senantiasa mengalami perubahan seiring dengan
terjadinya kemajuan dan perkembangan zaman. Pada saat ini, perjalanan kehidupan
manusia dihadapkan pada pola dan gaya hidup yang materialistik, skularistik dan hedonistik. Tolak ukur kehidupan umat
menusia lebih banyak ditentukan pada sesuatu yang bersifat kebendaan (materi),
jauh dari aturan agama, serta gaya hidup
yang hanya ditentukan untuk meraih kebahagiaan yang bersifat sesaat. Umat
manusia telah banyak yang terninabobokan dan terlena dalam kehidupan dunia yang
segala sesuatunya dinilai berdasarkan materi. Disamping itu, kondisi kehidupan umat
manusia juga telah mengalami carut marut. Nilai-nilai moral yang diajarkan oleh
agama Islam, banyak yang diabaikannya. Tuntunan moral ajaran agama lebih
dianggap sebagai tontonan, sementara tontonan dan berbagai jenis hiburan
dijadikannya sebagai tuntunan hidup, bahkan dijadikan teladan dan idola sebagai
gaya hidup yang dianggap modern.
Kemerosotan moral umat manusia sungguh amat memprihatinkan. Kepemilikan harta secara sah, telah dihancurkan dengan menghalalkan segala
cara untuk dikuasainya, baik dengan cara penipuan, tindakan curang, pencuriaan,
hingga korupsi yang dilakukan secara berjama’ah dan vulgar. Kehormatan nyawa
seseorang telah diabaikan dengan cara pembunuhan, hingga orang tua pun rela
membunuh anaknya, dan sebaliknya anak pun tega membunuh orang tuanya. Perilaku
politik yang adiluhung pun diruntuhkan dengan menghalalkan segala cara untuk
meraih kekuasaan. Semangat persaudaraan, kebersamaan dan kebangsaan pun
dihancurkan dengan tindakan kekerasan, permusuhan dan dendam dikarenakan untuk meraih
kepentingan pribadi ataupun kelompoknya. Makanan dan minuman yang telah jelas-jelas
diharamkan oleh ajaran agama pun dianggapnya sebagai barang halal, karena
baginya pengharaman tersebut menjadi penghambat dalam meraih kesenangan sesaat.
Perzinahan dan kehidupan yang bebas dianggapnya sebagai tradisi gaya hidup
manusia modern. Ajaran moral agama dianggapnya sebagai candu yang menghambat
kebebasan berekspresi.
Carut-marutnya
kehidupan manusia tersebut dapat digambarkan dalam syair :
“ ….. sifat mereka
telah bertukar
dari fakir menjadi
kafir
siddiq dan amanah
telah hilang
hasad dengki khianat
berbilang-bilang
iman dan taat menjadi
luntur
judi menjadi seri
majlis
zina menjadi
pekerjaan laris
isteri dan anak
menjadi durhaka
melihat moral si ayah
merajalela
alam pun turut sangat
murka
menurunkan bala
banjir dan gempa
gunung-gunung
memuntahkan laharnya
perang terjadi di
mana-mana
malapetaka di seluruh
dunia ….”
Inilah wajah dunia
saat ini. Kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan, terkadang menyisakan
kehidupan umat manusia menjadi kering kerontang dari nilai-nilai ajaran agama
dan semangat keberagamaan. Kemajuan yang telah dicapai umat manusia, ternyata
tidak dapat menjamin kehidupan manusia menjadi terhormat, bahkan terkadang
menjadikan dirinya terhina dihadapan Allah.
Oleh karena itu, betapa banyak dalam kehidupan
kita saat ini, seseorang lebih memilih menuhankan hawa nafsunya untuk
kepentingan diri sendiri dan kenikmatan sesaat. Pada hal, seharusnya, hawa
nafsu dikendalikan oleh akal, dan dibarengi oleh kejernihan dan ketulusan hati,
agar segala amal perbuatan yang dilakukan senantiasa di bawah bimbingan dan
petunjuk Allah. Seseorang yang memperturutkan dan menuhankan hawa nafsunya,
justru hanya akan menjadikan kehidupanya menjauh dari hidayah dan ridha Allah,
dan dibiarkan hidupnya menjadi tersesat. Hal inilah yang ditegaskan Allah SWT
dalam al-Qur’an surat
al-Jatsiyah : 23. : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya, dan
Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Segala amal perbuatan seseorang berpusat pada hati (qalbunya). Hati
ibaratnya seperti jagad raya tempat menampung dan sumber dari setiap amal
perbuatan. Hati seseorang akan menjadi hati nurani (hati
yang terang, cerah dan cemerlang), manakala manusia telaten menjaga kemurnian,
kesucian dan ketulusannya. Akan tetapi, hati dapat berubah menjadi hati
dzulmani (hati yang gelap dan gundah) yang akan menjadikan perjalanan
kehidupan manusia dikendalikan dan dibelenggu oleh hawa nafsunya. Jika hawa
nafsu sudah menjadi pengendali, maka seseorang akan kesulitan untuk membedakan
antara yang benar dan salah, halal dan haram, yang haq dan yang bathil, antara
kejahatan dan kebaikan.
Oleh karena itu, dalam rangka menghadapi problematika kehidupan dan krisis
multidimensi pada saat ini diperlukan penghayatan nilai-nilai moral agama. Penguatan
iman dan taqwa pada masing-masing pribadi demi terwujudnya keshalehan pribadi
menjadi landasan utama. Penghayatan secara mendalam kecenderungan kalbu akan
kehadiran Allah dalam kehidupan sehari hari (omnipresent) merupakan hal
yang utama dalam membangun kesadaran pribadi. Inilah wilayah ilahiyah (menurut
Dr. Yusuf Qardhawi) yang kita harus mengisinya dengan semangat ibadah. Kesadaran
bahwa Allah Maha Hadir dalam setiap kegiatan, selalu mengawasi terhadap yang
dilakuakan oleh manusia. Dia juga selalu hadir memberikan Pertolongan-Nya
terhadap hamba-Nya yang memohon dengan hati yang tulus.
Ketika kebanyakan umat manusia telah terlena kepada kehidupan yang
materialistik, skularistik dan hedonistik, serta dihadapkan pada wajah dunia
yang penuh dengan kemerosotan moral, penyimpangan dari tuntunan ajaran agama,
maka insan yang beriman seharusnya mengisi kehidupannya sesuai dengan ketentuan
Allah. Kecenderungan
dan ketundukan hatinya hanya semata-mata kepada Allah. Inilah yang menjadikan umat
manusia menjadi hamba yang bertaqwa, hamba yang terpelihara dan terjaga dari
hal-hal yang dilarang.
Disamping itu, diperlukan
membangkitkan kesadaran sosial atau sering disebut shalih secara
sosial, karena dalam Islam ditekankan pola keseimbangan hidup, yaitu untuk
menjalin hubungan (ibadah) kepada Allah dan juga menjalin hubungan dengan sesama
umat manusia. Umat Islam akan mampu mempertahankan eksistensinya sebagai
umat pilihan dan sebagai saksi atas umat yang lain manakala mampu
membina hubungan baik dengan Allah SWT dan membina hubungan baik sesama
manusia. Dia (Allah) telah
menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam
(AL-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu
semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang,
tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah
pelindungmu, Dialah sebaik-baik pelindung dan Sebaik-baik penolong.”
(QS. al-Hajj:78). Dalam ayat ini ditegaskan agar seorang Muslim mampu membangun
kesalehan personal dan sosial secara bersamaan agar senantiasa dalam
kemenangan, rukuk dan sujud merupakan cermin tertinggi dari pengabdian
seseorang kepada Allah SWT, sedang ”berbuatlah kebaikan” merupakan indikasi
kesalehan sosial.
Secara redaksional, ayat tersebut lebih mendahulukan kesalehan pribadi dari
pada kesalehan sosial. Ini berarti bahwa untuk membangun kesalehan sosial,
harus dimulai dengan kesalehan personal, atau kesalehan personal akan
memberikan kekuatan untuk saleh juga secara sosial. Dalam al-Qur’an terdapat
beberapa hubungan dan korelasi (munasabah) yang sangat erat antara kesalehan
personal dan sosial dengan nilai-nilai mulia dari ajaran Islam. Untuk menggapai
predikat ihsan misalnya, seseorang dituntut untuk mampu shaleh secara individu
mapun sosial yang diwakili dengan shalat malam dan berinfak. Dalam surat
Adz-Dzariyat : 16 – 19 disebutkan : Sesungguhnya
mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka
sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan di waktu
pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta
mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak
mendapat bagian.
Dalam ayat ini dijelaskan
bahwa dua bentuk amal yang sangat berat untuk dilakukan : pertama,
bangun malam merupakan sesuatu yang sangat berat karena mengganggu istirahat
seseorang. Padahal amal itu merupakan amal yang paling utama untuk membangun
kesalehan personal seseorang. Kedua, amal yang melibatkan harta
terkadang sangat sukar untuk dipenuhi karena manusia pada dasarnya memiliki
sifat kikir dengan sangat mencintai hartanya. Di sinilah Allah SWT menguji
kesalehan sosial seseorang dengan memintanya untuk mengeluarkan sebagian harta
untuk mereka yang membutuhkan.
Betapa banyak dari umat ini yang seakan hanya mementingkan shaleh secara
sosial, tetapi lupa akan hubungan baik dengan Allah SWT. Sebaliknya, banyak
juga yang shaleh secara personal namun ketika berhadapan dengan realitas
kehidupan sosial, justru ia larut dan tidak mampu membangun keshalehan di tengah-tengah
mereka. Oleh karena itu, pada saat ini diperlukan membangun sebuah kesadaran, kehadiran
komunitas yang saleh secara personal, dalam arti mampu menjaga hubungan baik
dengan Allah Swt, dan juga shaleh secara sosial dalam arti mampu memelihara hubungan
baik dan memberi kebaikan dan manfaat yang besar bagi kemanusiaan.
Wa
Allah A’lam bi as-Sawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar