SEBAIK-BAIK BEKAL ADALAH
TAQWA (2)
Oleh : Nur Mukhlish Z
Jika kamu
memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat
bencana, mereka bergembira karenanya. jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya
tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu.
Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan. (Q.S. Ali Imran : 120)
4. Bersabar, termasuk
tabah dan disiplin
Yang menyebabkan
timbulnya larangan bagi kaum muslimin mengambil mereka sebagai teman setia,
dalam ayat ini disebutkan lagi satu sikap yang mengambarkan bagaimana jahatnya
hati orang0orang kafir dan hebatnya sifat dengki dalam dada mereka. Berkata
Qatadah dalam menjelaskan firman allah ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir : “ Apabila orang-orang kafir itu melihat persatuan yang kokoh dikalangan
kaum muslimin dan mereka, memperoleh kemenangan atas musuh-musuh Islam, mereka
merasa dengki dan marah. Tetapi bila terdapat perpecahan dan perselisihan
dikalangan kaum muslimin dan mereka mendapat kelemahan dalam suatu pertempuran;
mereka merasa senang dan bahagia.”
Memang sudah menjadi
sunatullah, baik pada dulu sampai sekarang maupun pada masa yang akan datang
sampai hari kiamat, bila timbul di kalangan orang kafir seorang cendikiawan
sebagai penentang agama Islam, Allah akan tetap membukakan kebohongannya,
melumpuhkan hujjahnya dan memperlihatkan, kejelekan, cela dan aibnya. Oleh karena
itu, Allah memerintahkan kepada umat islam dalam menghadapai kelicikan dan niat
jahat kaum kafir itu agar selalu bersifat sabar dan taqwa serta penuh tawakal
kepadaNya. Dengan memikirkan kelicikan mereka itu tidak akan membahayakan
sedikitpun. Allah Maha Mengetahui segala tindak-tanduk mereka.
5.
Berbuat Ihsan. Kebaikan yang berdasar iklas.
Firman Allah Swt : Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz[357]
atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[358], dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir[359]. dan jika kamu
bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan
sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Q.S. an-Nisa’ : 128)
Ayat ini menerangkan sikap yang harus
diambil istri bila ia melihat sikap nusyus dari suaminya, seperti tidak
melaksanakan kewajibannya terhadap dirinya sebagaimana mestinya, tidak memberi
nafkah, tidak menggauli dengan baik, berkurang rasa cinta dan kasih sayangnya
dan sebagainya. Hal ini mungkin ditimbulkan oleh kedua belah pihak, suami dan istri,
atau disebabkan oleh salah satu pihak saja. Jika demikian halnya, maka
hendaklah istri mengadakan musyawarah dengan suaminya, mengadakan pendekatan,
perdamaian disamping berusaha mengembalikan cinta dan kasih sayang suaminya
yang telah mulai pudar.dan hal ini tidak dosa jika istri bersikap mengalah
kepada suaminya, seperti beberapa haknya dikurangi dan sebagainya.
Usaha mengadakan perdamaian yang dilakukan
istri itu, bukanlah berarti bahwa istri harus bersedia merelakan sebagian
haknya yang tidak dipenuhi oleh suaminya, tetapi untuk memperlihatkan kepada
suaminya keihklasan hatinya, sehingga dengan demikian suami ingat kembali
kepada kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan Allah SWT. Firman Allah Q.S. dalam
al-Baqarah: 228
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'[142]. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya[143]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dalam kehidupan keluarga menjadi tujuan
agama dalam mensyariatkan pernikahan. Karena itu hendaklah kaum Muslimin
menyingkirkan segala kemungkinan yang dapat menghilangkan suasana damai itu
dalam keluarga. Hilangnya suasana damai dalam keluarga membuka kemungkinan
terjadinya perceraian yang dibenci oleh Allah.
Allah SWT mengingatkan bahwa kikir itu
termasuk tabiat manusia.sifat kikir timbul karena manusia mementingkan dirinya
sendiri, kurang memperhatikan orang lain. Walaupun orang lain itu adalah
istrinya sendiri atau suaminya. Karena itu waspadalah terhadap sikap kikir itu.
Hendaklah masing-masing pihak dari suami atau istri bersedia beberapa hak
dikurangi unruk menciptakan suasana damai di dalam keluarga. Jika suami berbuat
kebaikan dengan menggauli istrinya dengan baik kembali, memupuk rasa cinta dan
kasih sayang, melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap istrinya, maka Allah
SWT mengetahuinya dan memberi balasan yang berlipat ganda.
6.
Berbuat Ishlah / Perbaikan / Perdamaian
Firman Allah Swt :
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena
itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (Q.S. an-Nisa’ : 129)
Rasullullah Saw. berlaku adil di antara
istri-istrinya. Dalam hal membagi cinta, memberi nafkah, dan perlakuan yang
sama. Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: “Adalah Rasulullah SAW membagi giliran
istri-istrinya. Ia berlaku adil, dan berdo’a : “ Ya Allah, inilah pembagianku
sesuai dengan yang aku miliki maka janganlah Engkau mencelaku terhadap apa yang
Engkau miliki, sedangkan aku tidak memilikinya (HR. Ahmad dan penyusun
Kitab-kitab Sunan). Maka turunlah ayat ini.
Berdasarkan sebab turun ayat ini, maka
yang dimaksud dengan berkelakuan adil dalam ayat ini ialah berlaku adil dalam
hal membagi cinta Rasulullah Saw, telah berusaha sekuat tenaga agar beliau
dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, maka ditetapkanlah giliran hari
pemberian nafkah dan perlakuan yang sama diantara istri-istrinya. Sekalipun
dengan demikian beliau merasa bahwa beliau tidak dapat membagi cinta dengan
adil diantara istri-istrinya. Beliau mencintai ‘Aisyah ra dari pada istri-istri
beliau yang lain. Karena itu beliau merasa berdosa dan mohon ampun kepada Allah
SWT. Dengan turunnya ayat ini hati Rasulullah Saw menjadi tentram, karana
beliau tidak berarti dengan kewajiban yang tidak sanggup beliau mengerjakannya.
Dari keterangan di atas dipahami bahwa
manusia tidak dapat meguasai hatinya sendiri, hanyalah Allah SWT yang dapat menguasainya.
Oleh karena itu, sekalipun manusia telah bertekat akan berlaku adil terhadap
istri-istrinya, namun ia tidak dapat membagi cinta antara isrti-istrinya secara
adil. Keadailan yang dituntut dari seorang suami terhadap istri-istrinya ialah
keadilan yang dapat dilakukannya, seperti adil dalam menetapkan hari dan
giliran antara istri-istrinya, adil dalam memberi nafkah, adil dalam bergaul
dan sebagainya. Untuk itu Allah Swt. mengingatkan, sekalipun suami tidak
dihukum karena tidak dapat membagi cintanya antar istri-istrinya dengan adil,
janganlah terlalu cenderung kepada salah satu istri itu sampai istri yang lain
hidup terkatung-katung, seperti digantung tidak bertali, hidup merana, hidup
dalam keadaan antara terikat lagi dan sebagainya.
Jika para suami selalu berusaha
mendamaikan dan menentramkan para istri dan memelihara hak-hak istrinya, Allah
mengampuni dan memaafkan dosanya yang disebabkan oleh terlalu cenderung hatinya
kepada salah seorang istrinyaiyi, karena Allah maha Pengasih kepada hambaNya. Ayat
ini merupakan pelajaran bagi orang-orang yang melakukan perkawinan semata-mata
untuk melampiaskan hawa nafsunya saja dan orang-orang yang mempunyai istri
lebih dari seorang.
Banyak manusia yang menekan dan tidak
menghiraukan suara nurani mereka, dan membeiasakan dirinya dikuasai oleh hawa
nafsunya. Terdapat perbedaan yang amat besar antara manusia yang dkuasai oleh
nafsunya dan yang diperintah oleh hati nuraninya.
Seseorang yang mendengarkan suara hati
nuraninya, tidak bersikap berlebihan dan mampu mengendalikan amarahnya ketika
menghadapi keadaan yang sulit dan akan penuh belas kasih, tenggang rasa, sabar
dan rela mengorbankan dirinya untuk memberi pertolongan. Sebaliknya, mereka
yang menuruti nafsunya, ia terbawa oleh amarahnya dan bertindak dengan perasaan
benci dan dendam. Bagi mereka yang memperoleh tindakan ketidakadilan, maka
mereka akan menjawabnya dengan keberanian, kejujuran dan keadilan, bukan malah
menciptakan ketidakadilan yang lebih besar lagi.
7.
Beribadah kepada Allah dengan ihklas
Firman Allah :
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah
menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, (Q.S Al-Baqarah : 21)
Secara etimologi (lughatan) kata al-'abdiyah,
al-'ubûdiyah, al-’ubûdah dan al-'ibâdah
berasal dari satu akar kata yang sama yaitu 'abida yang berarti taat
atau tunduk (al-thâ’ah). kata al-'ubûdah atau al-'ubûdiyyah
adalah bermakna tunduk (al-khudhû') dan merendah atau menghinakan diri (al-dzull),
kata al-'ibâdah, menurut muhammad al-Râzî, berarti ketaatan, dan kata al-ta’abbud
berarti al-tanasuk, artinya melakukan pengabdian. sedangkan secara
terminologi
العِبادَةُ هِيَ إسْمٌ جامِعٌ لِما يُحِبُّهُ الله ُوَيَرْضاهُ قَوْلاً
وَفِعْلاً جَلِيّاً كَانَ أَوْ خَفِيّاً
Berbagai macam bentuk
aktivitas manusia yang dicintai dan diridhai allah, baik berupa perkataan
maupun perbuatan yang dilakukan secara terang-terangan maupun tersembunyi
Seluruh makhluk yang ada di alam semesta
ini diciptakan dan dipelihara (rububiyatullah), dimiliki dan
dikuasai secara mutlak oleh Allah SWT (mulkiyyatullah). Karena semuanya milik Allah, maka semuanya dikuasai oleh
Allah shg --suka atau tidak suka– pasti akan dikembalikan dan berserah diri kepada
Allah SWT:
Maka Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama
Allah, Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di
bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka
dikembalikan. (Ali
Imran : 83)
Puncak
ibadah (pengabdian) tertinggi adalah penyerahan diri secara total kepada Allah
SWT :
Katakanlah:
Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam. (Q.S. al-An'am / 6 :
162)
Berdasarkan ayat-ayat tersebut dapat dipahami, bahwa urgensi orang
beribadah itu diantaranya : Ibadah adalah wujud cinta dan bentuk kepatuhan
hamba kepada Allah ; Ibadah merupakan implementasi rasa syukur hamba kepada
allah ; Ibadah membawa hamba kepada ketenangan hidup (pikir, batin dan memberi
kepuasan dari dahaga spiritual dengan jalan yg benar); Ibadah adalah jalan
memuliakan diri sendiri, yaitu menuju hamba Allah yang bertaqwa ; Ibadah adalah
upaya mencari cinta allah dan terlepas dari murka-Nya.
8.
Menepati janji
Firman Allah :
(bukan demikian), Sebenarnya siapa
yang menepati janji (yang dibuat)nya[207] dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Ali Imran: 76)
Allah menyangkal orang-orang Bani Israil
yang mengatakan tidak ada dosa bagi mereka apabila melakukan kejahatan terhadap
oarang-orang Islam. Kemudian Allah menegaskan agar setiap orang selalu menepati
segala macam janji dan menunaikan amanah yang dipercayakan kepadanya. Demikianlah
delapan syarat-syarat dalam membentuk manusia yang bertaqwa, namun bukan
berarti hanya terbatas pada delapan hal saja yang dikemukakan dalam al-Qur’an, karena
itu tentu saja perlu adanya kajian lanjutan yang lebih tajam dan mendalam lagi
tentang kajian kandungan al-Qur’an. Untuk itu marilah kita amalkan dengan
sebaik-baiknya sebagai bekal kehidupan manusia menuju terwujudnya keluarga,
masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT. Amin.
Wa Allah A’lam bi as-Shawab