Kamis, 22 Maret 2012

PEMIKIRAN MUHAMMAD ALI JINNAH


MUHAMMAD ALI JINNAH
(L. Karachi, 25 Desember 1876  – W. 11 Septemar 1948)


A.   Riwayat Kelahirannya
Lahir di Karachi, 25 Desember 1876, dan Wafat 11 Septemar 1948

B.   Pendidikan
  • Pada usia 10 tahun relajar di Bombay
  •  Madrasah al-Islam (tingkat menengah) di Karachi
  •  Usia 15 tahun / tahun 1891 belajar di Mission High School
  •  Universitas Bombay
  • Usia 16 tahun pergi ke London atas nasehat Frederick Leiigh Croft, yaitu belajar di Lincoln’s Inn, dalam bidang hukum dan menjadi pengacara selama 2 tahun.
 C. Karier Intelektual
  • Sebagai pengacara di London selama 2 tahun
  • Tahun 1897 (usia 2 tahun) sebagai pengacara di Bombay
  •  Berkenalan dengan Jaksa Agung, Mac Pherson, banyak menimba ilmu (perpustakaan pribadi)
  •  Tahun 1906 terjun ke dunia politik, dan membidani berdirinya Partai Liga Muslimin India, dengan Tujuan : 1) melindungi dan meningkatkan hak-hak politik serta kepentingan umat Islam yang ada di India. 2) mencegah pemaksaan dan tekanan dari komunitas lain
  • Tahun 1913 terpilih sebagai Presiden Liga Muslim India. Dalam perjuangannya melakukan kerja sama dengan Partai Konggres yang menghasilkan Perjanjian Lucknow tahun 1916. Hasilnya : Umat Islam diberi daerah pemilihan terpisah yang dicantumkan dalam undang-undang dasar di India.
  • Tahun 1917 mengokohkan kerja sama umat Islam dan Hindu.
  •  Tahun 1930-1932 ke London, diadakan KMB tentang perubahan ketatanegaraan dalam proses menuju kemerdekaan India. Dia merasa kecewa dengan umat Hindu karena memaksakan kehendaknya, dan akhirnya menetap di London.
  •  Tahun 1930, sahabatnya Muhammad Iqbal mencetuskan gagasan negara islam bagi umat Islam di India
  • Tahun 1934, kembali ke India atas permintaan Liaquat Ali Khan, dan kembali memimpin Liga Muslim India
  • Sidang di Lahore, menghasilkan ”Resolusi Lahore” atau ”Resolusi Pakistan” sebagai pelopor : Maulvi Fazlul Haque. Hasilnya : Umat Islam India merupakan suatu bangsa. Umat Islam. Umat Islam harus merupakan tanah air sendiri terpisah dari umat Hindu, dan tidak akan menerima konstitusi yang tidak menjadi menyebabkan tuntutan dasar ini.
  • Tahun 1937, LMI mengalami kekalahan dalam pemilu dengan Partai Konggres (ketuanya : Jawaharlal Nehru)
  • Ketika terjadi konflik antara umat Islam dan Hindu semakin memanas di Calcuta dan Binhar, gagasan pendirian negara sendiri semakin menguat.
  • Pemerintah Inggris mengalami kesulitan, dan menyerahkan kedaulatan pada kedua Dewan Konstitusi : 1) India untuk umat Hindu 2) Pakistan untuk umat Islam
  • Tanggal 14 Agustus 1947, lahirlah Pakistan sebagai negara
  • Memimpin Pakistan selama 1 tahun, wafat 11 September 1948
D. Sense of Crisis

Kehancuran islam dan umat Islam dikarenakan tidak bisa berperan secara maksimal dalam bidang politik

F. Gagasan
  • Gagasan tentang nasionalisme India, dengan perjuangan yang dilakukan : 1) Persatuan umat Islam dan Hindu. 2) Kemerdekaan India dari cekreraman penjajah (Inggris), 3) Nasionalisme.
  •  Menurutnya : ”India tidak akan diperintah oleh umat Hindu dan tidak pula oleh umat Islam, tetapi India harus diperintah oleh rakyat India dalam arti diperintah oleh umat Islam dan Hindu secara bersama-sama. Tuntutan kita adalah memindahkan kekuasaan ke tengah-tengah rakyat India dalam waktu yang tidak begitu lama, dan merupakan prinsip pembaharuan kita. (semangat nasionalisme)
  • Tahun 1947, LMI memporeleh suara yang signifikan. Dengan gagasannya dihadapan pemerintah Inggris dan Partai Konggres, yaitu : membentuk pemerintahan sementara dan memboikot rencana sidang Dewan Konstitusi

Keseimbangan Antara Shaleh Personal dan Sosial


HIDUP DALAM KETERASINGAN
(Membangun Keseimbangan Antara Shaleh Personal dan Sosial)

Perjalanan kehidupan manusia senantiasa mengalami perubahan seiring dengan terjadinya kemajuan dan perkembangan zaman. Pada saat ini, perjalanan kehidupan manusia dihadapkan pada pola dan gaya hidup yang materialistik, skularistik  dan hedonistik. Tolak ukur kehidupan umat menusia lebih banyak ditentukan pada sesuatu yang bersifat kebendaan (materi), jauh dari aturan agama, serta  gaya hidup yang hanya ditentukan untuk meraih kebahagiaan yang bersifat sesaat. Umat manusia telah banyak yang terninabobokan dan terlena dalam kehidupan dunia yang segala sesuatunya dinilai berdasarkan materi. Disamping itu, kondisi kehidupan umat manusia juga telah mengalami carut marut. Nilai-nilai moral yang diajarkan oleh agama Islam, banyak yang diabaikannya. Tuntunan moral ajaran agama lebih dianggap sebagai tontonan, sementara tontonan dan berbagai jenis hiburan dijadikannya sebagai tuntunan hidup, bahkan dijadikan teladan dan idola sebagai gaya hidup yang dianggap modern.
Kemerosotan moral umat manusia sungguh amat memprihatinkan. Kepemilikan harta secara sah, telah dihancurkan dengan menghalalkan segala cara untuk dikuasainya, baik dengan cara penipuan, tindakan curang, pencuriaan, hingga korupsi yang dilakukan secara berjama’ah dan vulgar. Kehormatan nyawa seseorang telah diabaikan dengan cara pembunuhan, hingga orang tua pun rela membunuh anaknya, dan sebaliknya anak pun tega membunuh orang tuanya. Perilaku politik yang adiluhung pun diruntuhkan dengan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Semangat persaudaraan, kebersamaan dan kebangsaan pun dihancurkan dengan tindakan kekerasan, permusuhan dan dendam dikarenakan untuk meraih kepentingan pribadi ataupun kelompoknya. Makanan dan minuman yang telah jelas-jelas diharamkan oleh ajaran agama pun dianggapnya sebagai barang halal, karena baginya pengharaman tersebut menjadi penghambat dalam meraih kesenangan sesaat. Perzinahan dan kehidupan yang bebas dianggapnya sebagai tradisi gaya hidup manusia modern. Ajaran moral agama dianggapnya sebagai candu yang menghambat kebebasan berekspresi.
Carut-marutnya kehidupan manusia tersebut dapat digambarkan dalam syair :
“ ….. sifat mereka telah bertukar
dari fakir menjadi kafir
siddiq dan amanah telah hilang
hasad dengki khianat berbilang-bilang
iman dan taat menjadi luntur
judi menjadi seri majlis
zina menjadi pekerjaan laris
isteri dan anak menjadi durhaka
melihat moral si ayah merajalela
alam pun turut sangat murka
menurunkan bala banjir dan gempa
gunung-gunung memuntahkan laharnya
perang terjadi di mana-mana
malapetaka di seluruh dunia ….”

Inilah wajah dunia saat ini. Kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan, terkadang menyisakan kehidupan umat manusia menjadi kering kerontang dari nilai-nilai ajaran agama dan semangat keberagamaan. Kemajuan yang telah dicapai umat manusia, ternyata tidak dapat menjamin kehidupan manusia menjadi terhormat, bahkan terkadang menjadikan dirinya terhina dihadapan Allah. 
 Oleh karena itu, betapa banyak dalam kehidupan kita saat ini, seseorang lebih memilih menuhankan hawa nafsunya untuk kepentingan diri sendiri dan kenikmatan sesaat. Pada hal, seharusnya, hawa nafsu dikendalikan oleh akal, dan dibarengi oleh kejernihan dan ketulusan hati, agar segala amal perbuatan yang dilakukan senantiasa di bawah bimbingan dan petunjuk Allah. Seseorang yang memperturutkan dan menuhankan hawa nafsunya, justru hanya akan menjadikan kehidupanya menjauh dari hidayah dan ridha Allah, dan dibiarkan hidupnya menjadi tersesat. Hal inilah yang ditegaskan Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Jatsiyah : 23. : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Segala amal perbuatan seseorang berpusat pada hati (qalbunya). Hati ibaratnya seperti jagad raya tempat menampung dan sumber dari setiap amal perbuatan. Hati seseorang akan menjadi hati nurani (hati yang terang, cerah dan cemerlang), manakala manusia telaten menjaga kemurnian, kesucian dan ketulusannya. Akan tetapi, hati dapat berubah menjadi hati dzulmani (hati yang gelap dan gundah) yang akan menjadikan perjalanan kehidupan manusia dikendalikan dan dibelenggu oleh hawa nafsunya. Jika hawa nafsu sudah menjadi pengendali, maka seseorang akan kesulitan untuk membedakan antara yang benar dan salah, halal dan haram, yang haq dan yang bathil, antara kejahatan dan kebaikan.
Oleh karena itu, dalam rangka menghadapi problematika kehidupan dan krisis multidimensi pada saat ini diperlukan penghayatan nilai-nilai moral agama. Penguatan iman dan taqwa pada masing-masing pribadi demi terwujudnya keshalehan pribadi menjadi landasan utama. Penghayatan secara mendalam kecenderungan kalbu akan kehadiran Allah dalam kehidupan sehari hari (omnipresent) merupakan hal yang utama dalam membangun kesadaran pribadi. Inilah wilayah ilahiyah (menurut Dr. Yusuf Qardhawi) yang kita harus mengisinya dengan semangat ibadah. Kesadaran bahwa Allah Maha Hadir dalam setiap kegiatan, selalu mengawasi terhadap yang dilakuakan oleh manusia. Dia juga selalu hadir memberikan Pertolongan-Nya terhadap hamba-Nya yang memohon dengan hati yang tulus.
Ketika kebanyakan umat manusia telah terlena kepada kehidupan yang materialistik, skularistik dan hedonistik, serta dihadapkan pada wajah dunia yang penuh dengan kemerosotan moral, penyimpangan dari tuntunan ajaran agama, maka insan yang beriman seharusnya mengisi kehidupannya sesuai dengan ketentuan Allah. Kecenderungan dan ketundukan hatinya hanya semata-mata kepada Allah. Inilah yang menjadikan umat manusia menjadi hamba yang bertaqwa, hamba yang terpelihara dan terjaga dari hal-hal yang dilarang.
Disamping itu, diperlukan membangkitkan kesadaran sosial atau sering disebut shalih secara sosial, karena dalam Islam ditekankan pola keseimbangan hidup, yaitu untuk menjalin hubungan (ibadah) kepada Allah dan juga menjalin hubungan dengan sesama umat manusia. Umat Islam akan mampu mempertahankan eksistensinya  sebagai umat pilihan dan sebagai  saksi atas umat yang lain manakala mampu membina  hubungan baik dengan Allah SWT dan membina hubungan baik sesama manusia. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (AL-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, Dialah sebaik-baik pelindung dan Sebaik-baik penolong.” (QS. al-Hajj:78). Dalam ayat ini ditegaskan agar seorang Muslim mampu membangun kesalehan personal dan sosial  secara bersamaan agar senantiasa dalam kemenangan, rukuk dan sujud merupakan cermin tertinggi dari pengabdian seseorang kepada Allah SWT, sedang ”berbuatlah kebaikan” merupakan indikasi kesalehan sosial.
Secara redaksional, ayat tersebut lebih mendahulukan kesalehan pribadi dari pada kesalehan sosial. Ini berarti bahwa untuk membangun kesalehan sosial, harus dimulai dengan kesalehan personal, atau kesalehan personal akan memberikan kekuatan untuk saleh juga secara sosial. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa hubungan dan korelasi (munasabah) yang sangat erat antara kesalehan personal dan sosial dengan nilai-nilai mulia dari ajaran Islam. Untuk menggapai predikat ihsan misalnya, seseorang dituntut untuk mampu shaleh secara individu mapun sosial yang diwakili dengan shalat malam dan berinfak. Dalam surat Adz-Dzariyat : 16 – 19 disebutkan : Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa dua bentuk amal yang sangat berat untuk dilakukan : pertama, bangun malam merupakan sesuatu yang sangat berat karena mengganggu istirahat seseorang. Padahal amal itu merupakan amal yang paling utama untuk membangun kesalehan personal seseorang. Kedua, amal yang melibatkan harta terkadang sangat sukar untuk dipenuhi karena manusia pada dasarnya memiliki sifat kikir dengan sangat mencintai hartanya. Di sinilah Allah SWT menguji kesalehan sosial seseorang dengan memintanya untuk mengeluarkan sebagian harta untuk mereka yang membutuhkan.
Betapa banyak dari umat ini yang seakan hanya mementingkan shaleh secara sosial, tetapi lupa akan hubungan baik dengan Allah SWT. Sebaliknya, banyak juga yang shaleh secara personal namun ketika berhadapan dengan realitas kehidupan sosial, justru ia larut dan tidak mampu membangun keshalehan di tengah-tengah  mereka. Oleh karena itu, pada saat ini diperlukan membangun sebuah kesadaran, kehadiran komunitas yang saleh secara personal, dalam arti mampu menjaga hubungan baik dengan Allah Swt, dan juga shaleh secara sosial dalam arti mampu memelihara hubungan baik dan memberi kebaikan dan manfaat yang besar bagi kemanusiaan.
Wa Allah A’lam bi as-Sawab


Selasa, 20 Maret 2012

Keteladanan Rasulullah Saw.


KETELADANAN RASULULLAH
Dilihat dari holistitisitas kepri­badian beliau, Michael H. Hart tidak berlebihan dalam buku klasiknya, The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History (edisi 1992), mengatakan bahwa Mu­ham­mad telah memainkan peran yang jauh lebih penting dalam pengem­bangan dan penyebaran Islam melebihi tokoh-tokoh agama-agama lainnya. Beliau ber­tang­gung jawab dalam penye­baran teo­logi dan prin­sip-prinsip utama etika-moral Islam. Ia juga memainkan peran kunci dalam dakwah keimanan yang baru dan menetapkan praktek-praktek agama Islam.

Krisis Moral dan Kepribadian
Kita hidup dalam sebuah dunia yang gelap, dimana setiap orang meraba-raba, namun tidak menemukan denyut nurani, tidak merasakan sentuhan kasih, dan tidak melihat sorot mata persahabatan yang tulus, dalam hal ini masyarakat mungkin mengalami krisis moral. Krisis moral dapat ditandai oleh dua gejala yaitu tirani dan keterasingan. Tirani merupakan gejala dari rusaknya perilaku sosial, sedangkan keterasingan menandai rusaknya hubungan sosial.
Penyebab terjadinya krisis moral adalah :
1. Adanya penyimpangan pemikiran dalam sejarah pemikiran manusia yang menyebabkan paradoks antarnilai, misalnya etika dan estetika
2. Hilangnya model kepribadian yang integral, yang memadukan kesalihan dengan kesuksesan, kebaikan dengan kekuatan, dan seterusnya
3.  Munculnya antagonisme dalam pendidikan moral
4.  Lemahnya peranan lembaga sosial yang menjadi basis pendidikan moral
Krisis moral ini menimbulkan begitu banyak ketidakseimbangan di dalam masyarakat yang tentunya tidak membuat masyarakat bahagia. Maka solusi yang sangat tepat bagi masalah ini hanya satu yaitu : Kembali menempuh jalan Allah, kembali kepada jalan islam.Firman Allah : Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".(Q.S. al-Baqarah : 38)

Akhlak Dalam Semua Sisi Kehidupan
Akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural, dan refleks. Akhlak = Iman + Amal Shalih
Maka akhlak Laa Ilaaha Illallaah sebagai kumpulan nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan memasuki individu manusia dan merekonstruksi visi, membangun mentalitas, serta membentuk akhlak dan karakternya. Demikianlah, Laa Ilaaha Illallaah sebagai kumpulan nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan memasuki masyarakat manusia dan mereformasi sistem, serta membangun budaya dan mengembangkan peradabannya.

Pembentukan prilaku
Faktor internal :
1.   Instink biologis, seperti lapar, dorongan makan yang berlebihan dan berlangsung lama akan menimbulkan sifat rakus, maka sifat itu akan menjadi perilaku tetapnya, dan seterusnya
2.   Kebutuhan psikologis, seperti rasa aman, penghargaan, penerimaan, dan aktualisasi diri
3.   Kebutuhan pemikiran, yaitu akumulasi informasi yang membentuk cara berfikir seseorang seperti mitos, agama, dan sebagainya
Faktor eksternal ; 1. Lingkungan keluarga ; 2. Lingkungan social ; 3. Lingkungan pendidikan
Islam membagi akhlak menjadi dua yaitu : 1. Fitriyah, yaitu sifat bawaan yang melekat dalam fitrah seseorang yang dengannya ia diciptakan, baik sifat fisik maupun jiwa. 2. Muktasabah, yaitu sifat yang sebelumnya tidak ada namun diperoleh melalui lingkungan alam dan sosial, pendidikan, pelatihan, dan pengalaman

Faktor-faktor Pembentuk Akhlak
1.
Al-Wiratsiyyah (Genetik).
·
Misalnya: seseorang yang berasal dari daerah Sumatera Utara cenderung berbicara “keras”, tetapi hal ini bukan melegitimasi seorang muslim untuk berbicara keras atau kasar karena Islam dapat memperhalus dan memperbaikinya.
2.
An-Nafsiyyah (Psikologis).
Faktor ini berasal dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh keluarga (misalnya ibu dan ayah) tempat seseorang tumbuh dan berkembang sejak lahir. Semua anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (Hadits).

·
Seseorang yang lahir dalam keluarga yang orangtuanya bercerai akan berbeda dengan keluarga yang orangtuanya lengkap.
3.
Syari’ah Ijtima’iyyah (Sosial).
·
Faktor lingkungan tempat seseorang mengaktualisasikan nilai-nilai yang ada pada dirinya berpengaruh pula dalam pembentukan akhlak seseorang.
4.
Al-Qiyam (Nilai Islami).

Nilai Islami akan membentuk akhlak Islami.Akhlak Islami ialah seperangkat tindakan/gaya hidup yang terpuji yang merupakan refleksi nilai-nilai Islam yang diyakini dengan motivasi semata-mata mencari keridhaan Allah.

Cara Mencapai Akhlak Mulia
1.
Menjadikan iman sebagai pondasi dan sumber
·
Iman artinya percaya yaitu percaya bahwa Allah selalu melihat segala perbuatan manusia. Bila melakukan perbuatan baik, balasannya akan menyenangkan. Bila perbuatan jahat maka balasan pedih siap menanti.




2.
Pendekatan secara langsung
·
Artinya melaui al-Qur’an.Sebagai seorang muslim harus menerima al-Qur’an secara mutlak dan menyeluruh. Jadi, apapun yang tertera di dalamnya wajib diikuti.




3.
Pendekatan tidak secara langsung.
·
Yaitu dengan upaya mempelajari pengalaman masa lalu, yakni agar kejadian-kejadian malapetaka yang telah terjadi tak akan terulangi lagi di masa kini dan yang akan datang.



Dari hal di atas, intinya adalah latihan dan kesungguhan. Latihan artinya berusaha mengulang-ulang perbuatan yang akan dijadikan kebiasaan. Kemudian bersungguh-sungguh berkaitan dengan motivasi. Motivasi yang terbaik dan paling potensial adalah karena ingin memenuhi perintah Allah dan takut siksa-Nya.
 Al-Qur'an menggambarkan bahwa setiap orang yang beriman itu niscaya memiliki akhlak yang mulia yang diandaikan seperti pohon iman yang indah hal ini dapat dilihat pada surat Ibrahim ayat 24 :
  Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik[786] seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, 25. Pohon itu memberikan buahnya pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. 26. Dan perumpamaan kalimat yang buruk[787] seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. 27. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu[788] dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. (q.s. Ibrahim : 24 – 27)
[786] Termasuk dalam kalimat yang baik ialah kalimat tauhid, segala Ucapan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran serta perbuatan yang baik. kalimat tauhid seperti laa ilaa ha illallaah.
[787] Termasuk dalam kalimat yang buruk ialah kalimat kufur, syirik, segala Perkataan yang tidak benar dan perbuatan yang tidak baik.
[788] Yang dimaksud ucapan-ucapan yang teguh di sini ialah kalimatun thayyibah yang disebut dalam ayat 24 di atas.
Dari ayat diatas dapat kita ambil contoh bahwa ciri khas orang yang beriman adalah indah perangainya dan santun tutur katanya, tegar dan teguh pendirian (tidak terombang ambing), mengayomi atau melindungi sesama, mengerjakan buah amal yang dapat dinikmati oleh lingkungan
Pengarahan al-Qur’an dan Hadis
Nabi Muhammad saw. dibimbing Allah swt. untuk meneladani para Nabi sebelum beliau setelah Allah mengisahkan kisah mereka pada surat al-An’aam : 90 :  
Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya. seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. 89. Mereka Itulah orang-orang yang telah Kami berikan Kitab, hikmat dan kenabian jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, Maka Sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya. 90. Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat. (Q.S. al-An’am 88 – 90)
Nabi Muhammad saw. sendiri ditegaskan oleh Allah swt sebagai teladan bagi orang-orang beriman (QS al-Ahzab:21) dan Allah memuji beliau karena memiliki akhlaq yang luhur (QS al-Qalam:4). Demikianlah, riwayat hidup beliau dan petuah-petuah beliau terkodifikasi dengan amat baik oleh para ulama hadits dan para ulama sejarah dalam bentuk kumpulan hadits dan tarikh. Dengan demikian umat Islam sepanjang masa akan dapat terus mereguk keteladanan dari pribadi Nabi Muhammad saw yang disebutkan Aisyah ra, “Akhlak beliau adalah al-Quran.”
Maka Nabi Muhammad saw pun mengajari umatnya untuk mengambil pelajaran dari beliau, termasuk dalam mendidik anak. Beliau bersabda, “Rabb-ku telah mendidikku dengan pendidikan yang baik.” (H.R. Al-Asaakir dan Ibnu Sam’ani). Beliau juga bersabda, “Didiklah anak-anak kalian dalam tiga perkara: mencintai Nabimu, mencintai keluarganya  dan tilawah al-Quran, sebab orang yang memelihara al-Quran itu berada dalam lindungan singgasana Allah bersama para NabiNya dan orang-orang yang suci, pada hari tidak ada perlindungan selain daripada perlindunganNya.” (H.R. Ath-Thabrani dari Ali ra.)

Selasa, 21 Februari 2012

SEBAIK-BAIK BEKAL ADALAH TAQWA (2)


SEBAIK-BAIK BEKAL ADALAH  TAQWA (2)
Oleh : Nur Mukhlish Z

Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan. (Q.S. Ali Imran : 120)

4.    Bersabar, termasuk tabah dan disiplin
Yang menyebabkan timbulnya larangan bagi kaum muslimin mengambil mereka sebagai teman setia, dalam ayat ini disebutkan lagi satu sikap yang mengambarkan bagaimana jahatnya hati orang0orang kafir dan hebatnya sifat dengki dalam dada mereka. Berkata Qatadah dalam menjelaskan firman allah ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir : “ Apabila orang-orang kafir itu melihat persatuan yang kokoh dikalangan kaum muslimin dan mereka, memperoleh kemenangan atas musuh-musuh Islam, mereka merasa dengki dan marah. Tetapi bila terdapat perpecahan dan perselisihan dikalangan kaum muslimin dan mereka mendapat kelemahan dalam suatu pertempuran; mereka merasa senang dan bahagia.”
Memang sudah menjadi sunatullah, baik pada dulu sampai sekarang maupun pada masa yang akan datang sampai hari kiamat, bila timbul di kalangan orang kafir seorang cendikiawan sebagai penentang agama Islam, Allah akan tetap membukakan kebohongannya, melumpuhkan hujjahnya dan memperlihatkan, kejelekan, cela dan aibnya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada umat islam dalam menghadapai kelicikan dan niat jahat kaum kafir itu agar selalu bersifat sabar dan taqwa serta penuh tawakal kepadaNya. Dengan memikirkan kelicikan mereka itu tidak akan membahayakan sedikitpun. Allah Maha Mengetahui segala tindak-tanduk mereka.

5.    Berbuat Ihsan. Kebaikan yang berdasar iklas.
Firman Allah  Swt :  Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz[357] atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[358], dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir[359]. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. an-Nisa : 128)

Ayat ini menerangkan sikap yang harus diambil istri bila ia melihat sikap nusyus dari suaminya, seperti tidak melaksanakan kewajibannya terhadap dirinya sebagaimana mestinya, tidak memberi nafkah, tidak menggauli dengan baik, berkurang rasa cinta dan kasih sayangnya dan sebagainya. Hal ini mungkin ditimbulkan oleh kedua belah pihak, suami dan istri, atau disebabkan oleh salah satu pihak saja. Jika demikian halnya, maka hendaklah istri mengadakan musyawarah dengan suaminya, mengadakan pendekatan, perdamaian disamping berusaha mengembalikan cinta dan kasih sayang suaminya yang telah mulai pudar.dan hal ini tidak dosa jika istri bersikap mengalah kepada suaminya, seperti beberapa haknya dikurangi dan sebagainya.
Usaha mengadakan perdamaian yang dilakukan istri itu, bukanlah berarti bahwa istri harus bersedia merelakan sebagian haknya yang tidak dipenuhi oleh suaminya, tetapi untuk memperlihatkan kepada suaminya keihklasan hatinya, sehingga dengan demikian suami ingat kembali kepada kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan Allah SWT. Firman Allah Q.S. dalam al-Baqarah: 228
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[142]. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[143]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dalam kehidupan keluarga menjadi tujuan agama dalam mensyariatkan pernikahan. Karena itu hendaklah kaum Muslimin menyingkirkan segala kemungkinan yang dapat menghilangkan suasana damai itu dalam keluarga. Hilangnya suasana damai dalam keluarga membuka kemungkinan terjadinya perceraian yang dibenci oleh Allah.
Allah SWT mengingatkan bahwa kikir itu termasuk tabiat manusia.sifat kikir timbul karena manusia mementingkan dirinya sendiri, kurang memperhatikan orang lain. Walaupun orang lain itu adalah istrinya sendiri atau suaminya. Karena itu waspadalah terhadap sikap kikir itu. Hendaklah masing-masing pihak dari suami atau istri bersedia beberapa hak dikurangi unruk menciptakan suasana damai di dalam keluarga. Jika suami berbuat kebaikan dengan menggauli istrinya dengan baik kembali, memupuk rasa cinta dan kasih sayang, melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap istrinya, maka Allah SWT mengetahuinya dan memberi balasan yang berlipat ganda.

6.    Berbuat Ishlah / Perbaikan / Perdamaian
Firman Allah Swt : 
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. an-Nisa’ : 129)

Rasullullah Saw. berlaku adil di antara istri-istrinya. Dalam hal membagi cinta, memberi nafkah, dan perlakuan yang sama. Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: “Adalah Rasulullah SAW membagi giliran istri-istrinya. Ia berlaku adil, dan berdo’a : “ Ya Allah, inilah pembagianku sesuai dengan yang aku miliki maka janganlah Engkau mencelaku terhadap apa yang Engkau miliki, sedangkan aku tidak memilikinya (HR. Ahmad dan penyusun Kitab-kitab Sunan). Maka turunlah ayat ini.
Berdasarkan sebab turun ayat ini, maka yang dimaksud dengan berkelakuan adil dalam ayat ini ialah berlaku adil dalam hal membagi cinta Rasulullah Saw, telah berusaha sekuat tenaga agar beliau dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, maka ditetapkanlah giliran hari pemberian nafkah dan perlakuan yang sama diantara istri-istrinya. Sekalipun dengan demikian beliau merasa bahwa beliau tidak dapat membagi cinta dengan adil diantara istri-istrinya. Beliau mencintai ‘Aisyah ra dari pada istri-istri beliau yang lain. Karena itu beliau merasa berdosa dan mohon ampun kepada Allah SWT. Dengan turunnya ayat ini hati Rasulullah Saw menjadi tentram, karana beliau tidak berarti dengan kewajiban yang tidak sanggup beliau mengerjakannya.
Dari keterangan di atas dipahami bahwa manusia tidak dapat meguasai hatinya sendiri, hanyalah Allah SWT yang dapat menguasainya. Oleh karena itu, sekalipun manusia telah bertekat akan berlaku adil terhadap istri-istrinya, namun ia tidak dapat membagi cinta antara isrti-istrinya secara adil. Keadailan yang dituntut dari seorang suami terhadap istri-istrinya ialah keadilan yang dapat dilakukannya, seperti adil dalam menetapkan hari dan giliran antara istri-istrinya, adil dalam memberi nafkah, adil dalam bergaul dan sebagainya. Untuk itu Allah Swt. mengingatkan, sekalipun suami tidak dihukum karena tidak dapat membagi cintanya antar istri-istrinya dengan adil, janganlah terlalu cenderung kepada salah satu istri itu sampai istri yang lain hidup terkatung-katung, seperti digantung tidak bertali, hidup merana, hidup dalam keadaan antara terikat lagi dan sebagainya.
Jika para suami selalu berusaha mendamaikan dan menentramkan para istri dan memelihara hak-hak istrinya, Allah mengampuni dan memaafkan dosanya yang disebabkan oleh terlalu cenderung hatinya kepada salah seorang istrinyaiyi, karena Allah maha Pengasih kepada hambaNya. Ayat ini merupakan pelajaran bagi orang-orang yang melakukan perkawinan semata-mata untuk melampiaskan hawa nafsunya saja dan orang-orang yang mempunyai istri lebih dari seorang.
Banyak manusia yang menekan dan tidak menghiraukan suara nurani mereka, dan membeiasakan dirinya dikuasai oleh hawa nafsunya. Terdapat perbedaan yang amat besar antara manusia yang dkuasai oleh nafsunya dan yang diperintah oleh hati nuraninya.
Seseorang yang mendengarkan suara hati nuraninya, tidak bersikap berlebihan dan mampu mengendalikan amarahnya ketika menghadapi keadaan yang sulit dan akan penuh belas kasih, tenggang rasa, sabar dan rela mengorbankan dirinya untuk memberi pertolongan. Sebaliknya, mereka yang menuruti nafsunya, ia terbawa oleh amarahnya dan bertindak dengan perasaan benci dan dendam. Bagi mereka yang memperoleh tindakan ketidakadilan, maka mereka akan menjawabnya dengan keberanian, kejujuran dan keadilan, bukan malah menciptakan ketidakadilan yang lebih besar lagi.

7.    Beribadah kepada Allah dengan ihklas
Firman Allah :
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, (Q.S Al-Baqarah : 21)
Secara etimologi (lughatan) kata al-'abdiyah, al-'ubûdiyah, al-’ubûdah dan al-'ibâdah berasal dari satu akar kata yang sama yaitu 'abida yang berarti taat atau tunduk (al-thâ’ah). kata al-'ubûdah atau al-'ubûdiyyah adalah bermakna tunduk (al-khudhû') dan merendah atau menghinakan diri (al-dzull), kata al-'ibâdah, menurut muhammad al-Râzî, berarti ketaatan, dan kata al-ta’abbud berarti al-tanasuk, artinya melakukan pengabdian. sedangkan secara terminologi
العِبادَةُ هِيَ إسْمٌ جامِعٌ لِما يُحِبُّهُ الله ُوَيَرْضاهُ قَوْلاً وَفِعْلاً جَلِيّاً كَانَ أَوْ خَفِيّاً
Berbagai macam bentuk aktivitas manusia yang dicintai dan diridhai allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang dilakukan secara terang-terangan maupun tersembunyi
Seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini diciptakan dan dipelihara (rububiyatullah), dimiliki dan dikuasai secara mutlak oleh Allah SWT (mulkiyyatullah). Karena semuanya milik Allah, maka semuanya dikuasai oleh Allah shg --suka atau tidak suka– pasti akan dikembalikan dan berserah diri kepada Allah SWT:
Maka Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan. (Ali Imran : 83)
Puncak ibadah (pengabdian) tertinggi adalah penyerahan diri secara total kepada Allah SWT :
Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.  (Q.S. al-An'am / 6 : 162)
Berdasarkan ayat-ayat tersebut dapat dipahami, bahwa urgensi orang beribadah itu diantaranya : Ibadah adalah wujud cinta dan bentuk kepatuhan hamba kepada Allah ; Ibadah merupakan implementasi rasa syukur hamba kepada allah ; Ibadah membawa hamba kepada ketenangan hidup (pikir, batin dan memberi kepuasan dari dahaga spiritual dengan jalan yg benar); Ibadah adalah jalan memuliakan diri sendiri, yaitu menuju hamba Allah yang bertaqwa ; Ibadah adalah upaya mencari cinta allah dan terlepas dari murka-Nya.


8.    Menepati janji
Firman Allah
(bukan demikian), Sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya[207] dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Ali Imran: 76)

Allah menyangkal orang-orang Bani Israil yang mengatakan tidak ada dosa bagi mereka apabila melakukan kejahatan terhadap oarang-orang Islam. Kemudian Allah menegaskan agar setiap orang selalu menepati segala macam janji dan menunaikan amanah yang dipercayakan kepadanya. Demikianlah delapan syarat-syarat dalam membentuk manusia yang bertaqwa, namun bukan berarti hanya terbatas pada delapan hal saja yang dikemukakan dalam al-Qur’an, karena itu tentu saja perlu adanya kajian lanjutan yang lebih tajam dan mendalam lagi tentang kajian kandungan al-Qur’an. Untuk itu marilah kita amalkan dengan sebaik-baiknya sebagai bekal kehidupan manusia menuju terwujudnya keluarga, masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT. Amin.
Wa Allah A’lam bi as-Shawab